Pengkhianat 2

16 7 0
                                    

"Apakah itu benar, Mak?" tanya anak itu pada Dien. "Apa benar yang mereka katakan, Mak dan Suami bersekongkol dengan kaphe Belanda?"

"Percalayah pada Mak," ucap Dien. "Mak tak mungkin mengkhianati kalian, mengkhianati cita-cita kita bersama."

"Lantas jawablah, Mak," ucap anak lain sambil menahan tangis.

Dien masih saja bersikeras tak menjawab pertanyaan itu, dia memasang wajah memelas, seperti seorang ibu yang bena-benar ingin dipercaya oleh anaknya. Bahkan muncul dibenak anak-anak itu agar pengganti ibunya ini berbohong saja pada mereka, pasti mereka akan percaya, tetapi Dien lebih memilih untuk tak menjawab dibandingkan harus berbohong.

Dien berlalu pergi meninggalkan anak-anak yang bingung dalam rasa bimbang. Dia pun bingung harus menjawab apa. Sebenarnya mudah saja baginya menjelaskan situasi yang sedang terjadi, tetapi suaminya meminta untuk merahasiakan hal ini, pada siapapun itu, demi keberhasilan rencana meraka berdua.

Keributan muncul setelah kepergian Dien. Bisik-bisik dari para Inong Bale, membuat suara dengungan seperti dengungan lebah yang mengerumuni sarangnya. Keumala yang berada di tengah-tengah mereka pun mulai merasa bimbang.

"Buat apa kita tetap disni?" ucap salah seorang teman Keumala. "Hanya akan menjadi penolong bagi pengkhianat itu."

"Iya, lebih baik kita pergi," ucap yang lain.

"Pengkhianat katamu?" sanggah Dhuha dengan wajah yang memerah menahan amarah. "Cepat tarik kata-katamu itu."

"Dia memang pengkhianat," jawab anak itu.

Braaaak. Sebuah pukulan menghantam wajah anak itu yang disambut dengan erangan kesakitan, sambil memegang dagunya. Secepat kilat Keumala menarik kembali tangannya, memasang kuda-kuda bersiap untuk memulai pertarungan, tetapi sayangnya anak itu terlalu takut untuk melawan Keumala. Dhuha yang berdiri di seberang anak itu pun terkejut melihat pukulan yang dilayangkan oleh Keumala.

"Apa kalian tak sadar, Mak adalah pengganti ibu kita. Memberi kita makan, teman, keluarga, dan rumah bagi kita semua. Sekarang dengan sombongnya kalian bilang dia pengkhianat," sikap dingin Keumala tiba-tiba berubah menjadi emosional.

Semua tertunduk dalam, merasa menyesal dengan apa yang terlintas dipikirannya barusan, tetapi anak teman Keumala itu tidak tinggal diam. Dia berteriak, berusaha membela dirinya dari ucapan Keumala.

"Jadi kalian ikut menjadi pengkhianat?" bentaknya. "Aku akan segera pergi dari sini, menjauhi benteng pengkhianat ini."

"Pergilah, kami pun tak membutuhkanmu!" jawab Dhuha.

Anak itu bergegas merapikan barang-barangnya dan kemudian pergi bersama beberapa orang yang setuju bahwa Dien adalah pengkhianat. Dien yang menyadari kepergian anak-anak itu merasa sedih, tetapi tak banyak yang bisa dilakukannya. Menahan mereka lebih lama disini, malah bisa menimbulkan masalah baru.

Hari demi hari terus berlalu seperti biasa di benteng Inong Bale. Latihan demi latihan dilakukan untuk memperkuat anggota pasukan. Sampai pada suatu ketika kehebohan kembali muncul, setelah beratur-ratus senapan serta meriam milik Belanda tiba di Inong Bale. Menimbulan sebuah pertanyaan besar.

Darimana senjata-senjata ini?

Cut : Perang Dalam DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang