Seminggu berselang segala bentuk persiapan telah selesai dilakukan. Begitu juga dengan pembagian pasukan. Dien, memimpin pasukan bagian belakang, yang terdiri dari anak-anaknya. Mereka memegang kendali atas pasukan artiler, yang memegang kendali penuh atas meriam dan senapan. Mereka bertugas meminimalisir jumlah musuh yang akan berhadapan langsung dengan pasukan di bagian depan.
Sementara itu, Agam yang hanya bermodalkan kelewang, ditugaskan sebagai pasukan di garis depan, bersama dengan Hulubalang lainnya. Mereka yang bertugas membuka jalan, serta melindungin pasukan belakang dari tentara-tentara musuh. Tentara musuh harus melangkahi mayat mereka terlebih dahulu, sebelum bertemu dengan pasukan di bagian belakang.
Agam dan teman-temannya merasa gejolak yang begitu besar. Latihan yang selama ini mereka siapkan, akan bertemu dengan hasil akhir yang juga mereka tunggu, menang atau kalah. Tetapi ada yang berbeda dengan Agam. Dia tentu bangga, harus berperang membela agama dan tanah kelahirnnya, tetapi kebanggaan ini bertumbuh tak terkira. Dia merasa dengan berada di garis depan, dia melindungi pasukan belakang yang ada Keumala di dalamnya. Jadi secara tak langsung dia merasa telah melindungi Keumala.
"Kenapa kau senyum-senyum sendiri?" ucap salah seorang teman Agam yang merasa aneh melihat temannya ini.
"Ehhh tak apa," jawab Agam panik.
Temannya tak percaya dengan jawaban Agam, tetapi dia memutuskan untuk mendiamkannya, karena mereka harus segera bergerak. Mereka memutuskan untuk menaklukan pos-pos penjagaan sebelumm akhirnya menyerang Kotaraja dengan kekuatan penuh dan secara menyeluruh.
Saat ini Belanda menerapkan strategi konsentrasi, dengan jumlah tentara yang lebih sedikit dan menjaga daerah yang lebih sempit. Strategi ini dilakukan untuk menghemat jutaan gulden yang habis setiap tahunnya demi mempertahankan daerah Aceh. Perang ini merugikan justru bukan hanya bagi Aceh, tetapi juga bagi Belanda.
Daerah konsentrasi berada beberapa puluh kilometer dari bekas istana sultan, dengan menempatkan beberapa pos penjagaan di luar daerah konsentrasi. Pos-pos ini ditempatkan dalam jarak beberapa kilometer, mengelilingi sekitar Kutarajara dan langsung berbatasan dengan laut di timur dan utaranya.
"Kita memiliki segalanya, kita akan menang," ucap Panglima Polim yang datang beberapa hari setelah rapat.
"Ketika kita tidak memiliki apa-apa kita bisa menahan serangan mereka, apalagi setelah kita memiliki persenjataan mereka," tambah Imam.
Ucapan para pemimpin itu membakar semangat para pejuang yang sehabis subuh sudah berkumpul di sebuah lembah di dekat Tanah Abee. Sang Imam akan melepas kepergian mereka dengan semangat yang membakar dada dan doa-doa yang mententramkan jiwa. Tak akan ada yang pergi dengan rasa gundah dan gelisah. Semuanya akan pergi dengan perasaan sukacita, seolah baru pulang kembali ke rumah, dari perjalanan panjang yang sangat amat melelahkan.
Di tanah lapangan itu berkumpul lebih dari 20.000 pasukan Aceh, yang sebagiannya bersenjatakan lengkap, ada yang memegang senapan, ada pula yang memegang meriam. Keumala dan Dhuha termasuk rombongan penembak jitu yang berbaris rapi di pasukan pemegang senapan. Belanda belum pernah menghadapi pasukan sebesar ini sebelumnya, tak di dunia, apalagi di Hindia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Historical FictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...