Waktu semalaman cukup bagi tentara Belanda masuk ke dalam kapal-kapal mereka. Mereka berpencar dalam grup-grup kecil agar tidak mudah dideteksi oleh pasukan Aceh. Semangat terlihat di wajah tentara Belanda, ketika mereka akhirnya berhasil menaiki kapal, lari dari lubang kuburan.
Sementara itu, di balik laut, pasukan Aceh semakin terpuruk. Kolera telah meluas, bahkan hingga memasuki istana Sultan, bahkan Sultan sendiri sampai terkena kolera, tertular dari pembantunya di istana. Diare yang berlebihan, membuat sultan dehidrasi parah, sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya terbaring lemah di kasurnya. Segala urusan kenegaraan dan peperangan diserahkan sepenuhnya ke Habib Abdurahman dan Panglima Polim.
Di seberang laut, meskipun tak tahu pasti apa yang terjadi di Kutaraja, tetapi insting Jenderal van Swieten mengatakan bahwa ini saatnya. Mereka akan menyerang Kutaraja di saat terlemahnya. Di tengah malam, sebelum subuh menjelang, mereka akan menggepur Kutaraja habis-habisan dengan meriam yang tersisa di kapal-kapal mereka.
"Maak je klaar (Bersiap)!" teriak Jenderal van Swieten berkali-kali ketika mengawasi tentaranya mempersiapkan meriam-meriam.
"Kita tak ingin kalah lagi, ini kesempatan terakhir kita."
Ketika bulan tiga perempat dari cakrawala, saat itulah tentara Belanda mulai bergerak. Angin yang begitu sejuk, membuat penduduk Kutaraja tertidur makin lelap, menyisakan beberapa orang pasukan Aceh yang berjaga.
"Dhuuum!! Dhuuum!!" bunyi meriam ditembakkan berbarengan dari beberapa kapal Belanda, memecahkan keheningan malam, membangunkan penduduk Aceh.
"Kita diseraaaang!!!" ucap salah seorang pasukan Aceh membangunkan yang lainnya.
Aceh yang mendapat pukulan pertama berusaha bertahan, mereka mundur menghindar jangkauan tembak kapal-kapal Belanda. Serangan yang dadakan, membuat mereka kalang kabut. Meriam-meriam yang sebelumnya sudah mereka berhasil rebut dari Belanda tidak bisa digunakan, karena berada pada arah yang salah. Meriam-meriam itu sudah bersiap mengantisipasi serangan Belanda yang berikutnya dari darat.
Serangan Belanda terus-menerus menggepur Aceh tanpa adanya serangan balik, dengan beberapa pasukan Aceh yang mundur berusaha menyelamatkan diri. Dengan mudahnya, Belanda berhasil menepi di timur Kutaraja.
"Tembakkan terus meriam-meriam itu," perintah Jenderal.
"Tapi meriam ini tak akan sampai ke barisan belakang musuh Jenderal," jawab salah seorang penembak.
"Tembakan terus, sampai kita berhasil menembus baris pertahanan musuh," perintah Jenderal. Perintah sang Jenderal adalah fatwa yang harus diikuti oleh segenap bawahannya tanpa terkecuali, baik itu benar maupun salah,
Tembakan meriam terus menerus dilakukan, bersamaan dengan barisan tentara Belanda yang turun dari kapal menuju Kutaraja. Tak ada hambatan berarti bagi mereka bergerak hingga akhirnya sampai di baris pertahanan pasukan Aceh di Kutaraja. Tentara Belanda dan pasukan Aceh terlibat dalam pertempuran jarak dekat, yang berguna hanyasalah senapan dan kelewang.
"Zo verschrikkelijk," ucap Jenderal begitu sampai di Kutaraja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Historical FictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...