Di tengah gelapnya malam, benteng didatangi oleh Umar dan anggota pasukannya. Mereka membawa 800 pucuk senjata dan uang dalam jumlah yang cukup besar. Wajah mereka terlihat cemas, sementara baju mereka berlumuran darah.
"Dien, kita benar-benar berhadapan dengan Belanda. Mereka akan mengejar kita," ucap Umar dengan nada cemas.
"Bukan mereka yang mengejar kita, tapi kitalah yang akan mengejar mereka," ucap Dien tegas, berusaha menenangkan suaminya.
Pada beberapa hari sebelumnya, Umar diberikan perintah oleh Belanda untuk menyelamatkan kapal Nisero yang dibajak oleh Raja Teunom. Umar dan pasukannya berangkat menggunakan kapal bersama dengan 32 orang tentara Belanda. Mereka berniat menghabisi Raja Teunom beserta pengikutnya dan melepaskan sandera dari kapal Nisero.
Belanda belum mengetahui rencana yang disiapakan oleh Umar, bahwa dia menghimpun para Uleebalang untuk melawan Belanda. Di tengah perjalanan, lepas pantai Aceh, Umar dan pasukannya menusukkan pisau ke jantung para tentara Belanda, membuat nyawa mereka terpisah dari raganya.
Malam itu, burung-burung gagak pun ikut bernyanyi bersama pasukan Umar. Menyanyikan kecerdikan Umar menghadapi Belanda, berubah dari teman menjadi lawan, menjadi benalu bagi segala bentuk penjajahan. Umar mengorbankan segalanya, nama baiknya, dibenci oleh sebangsanya, hanya untuk satu ujung akhir yang di nanti, mempunyai kekuatan yang cukup sebelum melawan. Mundur sedikit untuk mendobrak lebih keras.
Segera setelah menghabisi nyawa 32 orang tentara Belanda, dia menemui Raja Teunom, memberi dukungan padanya dan memberi tahu niat aslinya. Raja pun merestui apa yang menjadi rencana besar Umar. Sekali lagi rakyat Aceh bersatu dalam satu serangan besar dalam satu panji, yang dipimpin oleh Umar dan didampingi oleh istrinya Dien.
"Aku akan bersamamu mengejar mereka," ucap Dien sekali lagi menenangkan Umar.
Dien mengusap wajah Umar yang bersandar dibahunya. Sebetulnya Umar adalah sosok yang terlihat keras dan tegas, kepada siapapun, kawan dan lawan. Dia hanya menunjukkan kelembutan dan kelemahannya pada satu-satunya orang yang dipercayainya, yaitu istrinya, Dien.
Tak terasa Umar jatuh terlelap dalam dekapan Dien. Perlahan Dien meletakkan kepala suaminya di bawah, lalu pergi ke luar untuk melakukan persiapan. Persiapan harus segera dilakukan untuk menghadang segala bentuk serangan dari Belanda.
Paginya, segala persiapan telah siap dilakukan. Para Uleebalang dan Panglima Sagi beserta pasukannya dari berbagai penjuru telah berkumpul di benteng. Umar dan pasukannya pun sudah segar kembali, setelah semalaman beristirihat. Dien dan pasukannya, Inong Bale, juga telah siap bersama-sama menggepur Belanda. Sementara itu, Keumala dan Dhuha ditugaskan sebagai penembak jitu, seusai dengan keahlian mereka.
"Kali ini kita bukan hanya membidik," ledek Dhuha pada Keumala, mengingat kebiasaannya yang hanya melakukan latihan membidik tanpa menembak.
Tanpa berkata-kata, Keumala pun mengarahkan bidikannya pada Dhuha, hingga membuat dia mundur dan terjatuh ke tanah. Adegan itu membuat Dhuha menjadi pusat perhatian dan bahan tertawaan yang lainnya.
"Kau membuatku malu Keumala," ucap Dhuha.
"Kau pun meledekku," balas Keumala.
Setelah itu keduanya menertawai kejadian barusan, yang diikuti oleh anggota Inong Bale lainnya. Dien yang melihat kejadian itu memandang anak-anaknya sambil tersenyum. Anak-anak ini tak pernah merasakan perang yang sesungguhnya. Memang mereka adalah korban dari peperangan, tetapi mereka belum pernah terlibat di dalamnya.
Dalam perang ini mereka akan merasa kejamnya. Perang bukan hanya sebagai pembunuh, tetapi juga pencuri, pencuri kebahagian dan pencuri jiwa-jiwa orang yang mereka sayangi. Perang akan merubah kepribadian mereka semua untuk selamanya. Tak akan ada lagi Dhuha yang ceria dan Keumala yang dingin. Semua emosi dan perasaan akan bercampur aduk oleh perang.
Setelah semua pasukan siap, mereka berangkat. Perlahan-lahan pergi meninggalkan benteng. Keumala kembali melihat ke belakang ke arah pintu masuk benteng. Lewat jalan ini, dia pertama kali tiba di benteng ini dan lewat jalan ini pula, dia pergi dari benteng ini, yang tidak tahu sampai kapan, bisa jadi untuk selamanya.
'Selamat tinggal rumah,' bisik Keumala dalam hati.
Ada perasaan haru, yang menjalar di hati Keumala dan teman-temannya. Mereka harus meninggalkan tempat yang mau menerima mereka setelah mereka kehilangan rumah, tempat mereka bertemu keluarga setelah mereka kehilangan keluarga. Mereka pergi tanpa tahu kapan akan kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Historical FictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...