"Benteng ini terlihat lebih sepi, Dien," ucap seorang Uleebalang berbasa-basi.
"Ya banyak yang telah dewasa dan memilih pergi dari benteng ini," jawab Dien datar.
Basa-basi yang teramat basi, padahal keduanya tahu alasan yang menjadikan benteng ini ditinggalkan banyak penghuninya, alasan kenapa benteng ini terlihat begitu sepi.
"Apakah kalian melihat senjata-senjata yang berada di benteng ini?" tanya Teuku Umar memulai pembicaraannya.
"Ya senjata yang kalian dapatkan setelah bersekutu dengan para kaphe," ucap salah seorang Uleebalang yang disambut anggukan Uleebalang lainnya.
"Ya, benar yang kalian ucapkan," jawab Umar.
Para Uleebalang tersentak, mereka tak mengira isu yang selama ini beredar di masyarakat Aceh ternyata tidak dibantah sedikitpun oleh Umar, bahkan dia mengiyakannya.
Salah seorang Uleebalang berdiri marah, "Jadi kau bangga bersekutu dengan kaphe Belanda itu, Umar?"
"Tenang dulu, aku belum selesai bicara," bentak Umar yang membuat kaget seisi ruangan. Bentakan itu berhasil kali ini tak ada lagi yang berani menyela Umar bicara, mereka semua diam dan memperhatikan dengan seksama.
"Benar semua senjata itu kami dapatkan dari Belanda. Kami, selama ini berpura-pura mengabdi kepada mereka, bukan tanpa sebab. Mereka telah percaya sepenuhnya kepada kami dengan memberikan senjata-senjata ini. Total ada hampir seribu senapan dan belasan meriam, serta sejumlah uang yang mereka berikan," ucap Umar menjelaskan.
"Tapi pengabdian itu telah berakhir," ucap Umar tegas.
Para Uleebalang menjadi semakin bingung. Mereka belum siap dengan pengakuan Umar yang ternyata benar selama ini mendukung Belanda, ditambah dengan pengabdian yang berakhir. Ruangan itu menjadi semakin ribut, bisik-bisik dari masing-masing Uleebalang dengan Uleebalang lainnya terdengar seperti nyanyian lebah.
"Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya salah seorang Uleebalang memberanikan diri.
"Kita akan melawan Belanda, melawan Belanda dengan senjata-senjata mereka sendiri. Menembakkan mereka dengan peluru mereka sendiri, meluluhlantahkan mereka dengan meriam mereka sendiri. Ini satu-satunya kesempatan kita bisa menang melawan mereka. Kita akan melawan mereka dengan kekuatan penuh," ucap Umar berapi-api.
"Apakah kalian bersamaku?" tanya Umar.
Tak ada yang menjawab. Para Uleebalang itu masih kebingungan mencerna setiap perkataan Umar barusan.
"Apa kalian bersamaku?" tanya Umar sekali lagi. Kali ini Umar memandang satu per satu wajah Uleebalang, meyakinkan mereka untuk berjuang bersama.
"Ya, aku ikut!" ucap salah seorang Uleebalang sambil berdiri.
"Aku juga ikut!" ucap Uleebalang yang lain.
Satu per satu Uleebalang berdiri menyatakan siap bergabung dengan Umar.
"Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!" takbir dari dalam ruangan berkali-kali.
Keumala, Dhuha, dan anak-anak lainnya yang mendengar takbir berkali-kali pun ikut bertakbir. Mereka sadar kali ini giliran mereka yang ikut berjuang.
***
Bab ini terinspirasi dari kisah Teuku Umar yang bersiasat seolah setia pada Belanda, padahal hatinya tetap setia pada perjuangan rakyat Aceh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Historical FictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...