Mereka bertiga sampai di markas ketika malam hari. Kondisi Dhuha semakin mengkhawatirkan, setelah kakinya terluka pada pertempuran tadi pagi. Begitu sampai markas, mereka tidak melihat pasukan Aceh, melainkan banyaknya tentara Belanda yang mondar-mondair.
"Kita tidak bisa kembali ke markas," ucap Agam. "Markas itu telah dikuasai Belanda, kita telah kalah."
"Kamu jagalah Dhuha, disini," ucap Keumala. "Biarkan aku melihat kondisi sekitar."
Agam menarik tangan Keumala berusaha menahannya, tapi Keumala bersikeras untuk mengamati sekitar. Lagipula tidak mungkin Agam yang mengamati sekitar dan meninggalkan Keumala berdua dengan Dhuha yang sedang sakit kakinya. Jika tiba-tiba musuh muncul, Agam yang paling memungkinkan untuk menggendong Dhuha, dibandingkan dengan Keumala.
Keumala bergerak perlahan bersembunyi dibalik rimbunnya pohon dan semak-semak, yang membuatnya tak terlihat. Semakin dekat, semakin banyak jumlah tentara Belanda, dengan beberapa mayat orang Aceh yang sudah tak berdaya dan beberapa orang yang telah ditangkap.
'Sepertinya tak ada harapan lagi. Kita sudah benar-benar kalah,' piki Keumala.
Dia segera membalikkan badan, kembali bergerak perlahan untuk menuju Agam dan Dhuha. Di saat itulah, dari arah yang tak dia sangka, seseorang mendongkan senapan ke arahnya kepalanya, membuat jarak kurang sejengkal antara kepala dan mulut senapan. Jika pelatuknya ditarik saja, maka kepala Keumala akan meledak saat itu juga.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Frans Pauwels dalam bahasa Melayu yang patah-patah kepada Keumala.
Sebelum berangkat ke medan perang. Frans telah diingatkan bahwa perempuan Aceh berbeda. Mereka bukanlah perempuan lemah yang berlindung saat terjadi perang, tetapi mereka justru ikut berperang. Dia diingkatkan untuk berhati-hati pada semua orang Aceh yang dia temui, baik itu laki-laki ataupun perempuan, tetapi keadaan berbeda ketika dia menghadapinya langsung. Dia tidak tega menarik pelatuk pada perempuan di depannya ini. Seketika dia mengingat ibu dan adik perempuannya yang terpisah lautan dengannya saat ini.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Frans kembali dengan nada yang lebih tegas.
Keumala sendiri bukannya tak mengerti apa yang ditanyakan oleh Frans, tetapi lebih tepatnya dia enggan untuk menjawab. Dia memperhatikan Frans dengan seksama, dari kaki hingga kepala. Meskipun badannya terlihat lebih tinggi dibandingkan Keumala, dia terlihat sangat lemah.
"Sraaaaaat," suara yang dihasilkan ketika Keumala merebut senapan itu dari tangan Frans secepat kilat.
Kali ini keadaan berbalik, Keumala memegang senapan dan Frans mengangkat tangan tanda menyerah. Disaat Keumala bersiap menarik pelatuk dengan jari-jari mungilnya, tiba-tiba terdengar suara tembakan keras yang membuat burung-burung terbang berlarian. Di saat yang bersamaan Keumala rebah ke tanah. Kakinya seolah tidak mempunyai pijakan untuk berpijak.
"Bruuuuk," badan Keumala terhempas ke tanah, ketika peluru itu bersarang ke pahanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Historical FictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...