Kekalahan

19 7 0
                                    

"Zo verschrikkelijk," ucap Jenderal begitu sampai di Kutaraja.

Pemandangan dari luar Kutaraja amat mengerikan. Jenderal menyadari bahwa ini adalah akibat dari perbuatannya, tetapi ini adalah hal yang tak bisa dihindarkan dalam peperangan. Mayat-mayat ditumpuk di luar Kutaraja, bersiap untuk dilakukan pemakaman masal, sebelum Belanda datang. Mayat-mayat ini adalah korban kekejaman kolera yang dibawa oleh Belanda ke tempat ini, menyebar dan membunuh satu per satu penduduknya.

"Duaar! Duaaar!!" suara tembakan terdengar dari dalam kota ke arah luar, menembaki tentara Belanda yang sedang berbaris rapi bersiap memasuki kota.

Lengah akibat melihat fenomena yang mengerikan di luar batas kota, membuat tentara Belanda tak menyadari pasukan Aceh yang sedang bersaiaga. Satu demi satu tentara Belanda tumbang, yang kemudian dibalas dengan tembakan ke arah pasukan Aceh. Aceh yang memiliki persenjataan lebih sedikit, kewalahan menghadapi Belanda, hingga ada beberapa orang dari pasukan Aceh yang maju membawa kelewang.

"Duaaar!!" sebuah tembakan menyasar kepala salah seorang pasukan Aceh yang bergerak maju, membuat gentar pasukan Aceh lainnya.

Usaha yang sia-sia, melihat jumlah pasukan Aceh yang lebih sedikit daripada perang sebelumnya dan tentara Belanda yang jauh lebih banyak. Dalam perang jarak dekat, penggunaan kelewang baru bisa menguntungkan jika tentara musuh jauh lebih sedikit. Jika berimbang, bisa dipastikan penggunaan kelewang akan menelan pil pahit, yang bernama kekalahan.

Tak perlu waktu lama korban mulai banyak berjatuhan, khususnya dari pasukan Aceh. Melihat temannya satu per satu menuju pintu surga, membuat pasukan Aceh yang lain sedikit gentar. Bisa dipastikan, semakin lama mereka bertempur akan semakin menjelaskan kekalahan mereka, dan akan semakin banyak korban yang berjatuhan. Saat inilah hal yang paling menyakitkan bagi pasukan harus dilakukan, mereka harus mundur, menyerahkan ibukota mereka ke tangan penjajah.

"Kita mundur," perintah Panglima Polim, ketika sadar bahwa pasukannya tak mungkin bisa menang.

"Kita akan menyerahkan ibukota kita ke kaphe (kafir) ini begitu saja?" tanya salah seorang pasukan Aceh.

"Tak ada kata lari dalam islam," ucap yang lainnya. "Kita harus terus melawan, mengusir orang-orang yang ingin merampas hak kita. Hanya ada satu pilihan bagi kita, yaitu menang atau mati."

"Kita tak lari, kita hanya mundur sejenak, mengatur strategi, sebelum akhirnya kita mampu melawan mereka lagi," tambah Panglima Polim.

Posisi pasukan Aceh yang terjepit, membuat mereka akhirnya mematuhi perintang sang Panglima. Mereka mundur, menuju hutan-hutan di pedalaman Aceh, untuk mengobati yang terluka, beristirahat, sebelum akhirnya melanjutkan perang tanpa henti dengan para tentara Belanda.

Semenata itu, di istana sultan sudah kosong. Sang sultan sudah melarikan diri mengikuti bujukan para nasihatnya, karena kondisinya yang sudah sangat lemah dan posisi pasukan Aceh yang tidak menguntungkan.

Dengan kondisinya yang amat lemah, sultan pun tak mampu bertahan lama. Dia berpulang ketika pasukan Aceh dalam perjalanan untuk bersembunyi. Sakit yang amat berat dideritanya, tak mampu lagi ditahan, hingga sang Sultan harus menyerah, kembali menemui sang penciptanya.

Bersamaan dengan ini, Aceh telah kalah oleh Belanda, Kutaraja direbut, Kesultanan pun berakhir, tetapi perjuangan jauh dari kata selesai. Pasukan Aceh akan terus datang menyerbu dan menyerang memperjuangkan kemerdekaannya di atas tanahnya sendiri.

Cut : Perang Dalam DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang