"Kau berbohong!" bentak salah seorang tentara kepada pemuda Aceh yang berdiri mematung di depannya.
Dia sendiri bingung kenapa disebut pembohong, padahal jelas informasi yang diberikannya itu valid. Dia bahkan memastikannya lagi pagi ini dan benar, orang Belanda itu masih berada di rumah sambil menggendong anak perempuannya.
"Aku tak pernah berbohong," ucap pemuda Aceh itu sambil menggertakan gigi menahan kekesalahnya, karena dikatakan pembohong.
Dia boleh dihina apapun, tetapi tidak sebagai pembohong. Bertahun-tahun hidupnya, ibunya selalu mengajarkan dia agar hidup sebagai orang yang jujur, dan dia pun patuh, tak sekalipun dia berbohong, meskipun muncung senapan orang Belanda tepat berada di dahinya.
"Kami tak menemukan laki-laki itu. Di sana hanya ada seorang perempuan," jawab tentara Belanda itu sama-sama ngototnya.
Bayangkan saja, dia harus menyebrangi derasnya hujan, hanya karena sebuah berita bohong. Jika bukan karena takut, pemberontakan Aceh kembali terjadi lagi, maka sudah diledakkan kepala pemuda di depannya ini dengan senapan.
"Jelas-jelas aku melihatnya tadi pagi," dengus pemuda itu. "Kalian lah yang tak becus mencarinya."
"Apa kau bilang?!" kali ini tentara Belanda itu benar-benar marah dan menarik kerah baju pemuda itu.
Teman si tentara itu menahannya, mencoba menenangkannya agar tak jadi keributan, "Jika bukan kau yang berbohong berarti perempuan itu yang berbohong."
Pemuda Aceh itu mengangguk perlahan.
"Lalu siapa namamu?"
"Agam. Seorang laki-laki yang tak akan pernah berbohong."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Historical FictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...