Malahayati

29 8 0
                                    

Dahulu ketika perang antara Portugis dan Aceh sedang gencar-gencarnya, banyak pasukan yang meninggal dalam peperangan. Pasukan itu meninggalkan istri yang menjadi janda dan anak-anak yang menjadi yatim. Keadaan ini membuat Kerajaan Aceh rawan di serang kerajaan lain, karena menganggap Aceh lemah setelah ditinggal banyak pasukannya.

Inilah yang menjadi alasan bagi seorang wanita bernama Malahayati mendirikan sebuah armada tempur yang terdiri dari istri-istri yang ditinggalkan oleh suaminya. Malahayati yang memimpin armadanya ini untuk menjaga laut Aceh diberi gelar Laksamana oleh sultan.

Laksamana Malahayati dan armada Inong Bale membuktikan dirinya ketika mampu mencegat kapal Belanda yang dinakhodai oleh Cornelis de Houtman. Kapal-kapal Belanda ini telah menyerang kerajaan Banten, Bali, dan Madura, sebelum akhirnya singgah di Aceh.

Perang tak bisa dihindari, Laksamana Malahayati dan ribuan pasukan Inong Bale berhasil menenggelamkan kapal Belanda. Sementara sang kapten, Cornelis de Houtman berhasil dibunuh dengan duel satu lawan satu melawan Malahayati. Sejak saat itu, Belanda tidak berani lagi meremehkan Kerajaan Aceh.

Semenjak itu juga, armada Inong Bale resmi menjadi salah satu bagian dari pasukan Kesultanan Aceh, yang menerima perintah langsung dan menerima gaji dari sang sultan. Tak ada yang berani macam-macam meskipun anggota armada seluruhnya terdiri dari perempuan baik muda ataupun tua.

Seiring perkembangan waktu armada Inong Bale bukan hanya terdiri dari janda yang ditinggalkan oleh suaminya yang gugur saat perang, tetapi juga terdiri dari anak-anak dan remaja perempuan yang ditinggalkan keluarga akibat kekejaman perang melawan Eropa. Visi Laksamana Malahayati juga ikut tercapai bersama dengan perkembangan armada Inong Bale, agar perempuan bukan saja dipandang lemah dan tak berdaya, tetapi juga mampu membawa perubahan bagi dunia.

"Jadi begitulah, anak-anak perempuan yang ada disini sama sepertimu. Anak-anak perang yang kehilangan ayah dan ibunya," ucap perempuan itu menutup ceritanya.

Keumala yang baru mendengar cerita sehebat itu terdiam. Dia kagum bahwa perempuan bukan hanya bisa melahirkan dan datang bulan, tetapi juga bisa ikut berjuang. Timbul gejolak di dalam hatinya, dendam yang sudah tumbuh semenjak kematian ibunya, akhirnya mempunyai jalan untuk dituntaskan.

"Ibumu dulu juga anggota pasukan ini," ucap perempuan itu memecah keheningan.

"Dia dan aku teman sejak kecil. Kami berdua sama-sama kehilangan orang tua dan dilatih di armada Inong Bale ini. Semenjak memutuskan untuk menikah, dia keluar dan hidup bahagia di Kutaraja, tetapi kedatangan Belanda merusak kebahagian itu. Aku sempat bertemu ibumu ketika selesai pertempuran pertama antara kita dan Belanda. Dia menolak ajakanku untuk kembali ke benteng ini dan memilih untuk tinggal jauh di dalam hutan."

Perempuan itu tiba-tiba terdiam, memberikan waktu bagiku untuk menyerap cerita ini perlahan. Kesedihan tampak diraut mukanya, yang beberapa hari ini terlihat tegas ketika memimpin pasukan.

"Kedatanganku kemarin karena aku rindu bertemu dengan ibumu, sekaligus ingin bertempu keponakanku," ucap perempuan itu sekaligus mengelus-ngelus kepala Keumala.

"Tak disangka, Belanda biadab itu juga berada disana. Seandainya kami datang lebih cepat, pasti ibumu masih hidup," tambah perempuan itu sambil memeluk Keumala.

Keumala merasakan air mengalir di bahunya, membuat bajunya sedikit basah karena air mata. Pelukan itu terasa hangat, mengisi rongga-rongga hati dan palung jiwa Keumala. Keumala pun ikut menangis bersama, bukan hanya tangisan kesedihan, tapi tangis kelegaan. Akhirnya dia sadar dia tidak sendiri di dunia ini.

Cut : Perang Dalam DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang