Jika tak segera berlabuh, maka kekalahan sudah pasti berada di depan mata.
Tiba-tiba ada seorang perwira yang berdiri. Dia berdiri bersama pengawalnya yang berperawakan pribumi dengan membawa sebuah cetak biru denah Kutaraja hingga ke Pesisir Timur Aceh.
"Ada sebuah tempat yang bisa kita jadikan tempat berlabuh," ucap perwira itu. Dia kemudian menggelar sebuah peta dan menunjukkan lokasinya.
"Disana jauh dari perkampungan orang-orang Aceh dan jika kita terus bergerak menyusuri sungai, maka kita bisa sampai ke ibukota, Kutaraja."
"Berapa lama jarak yang harus kita tempuh dengan berjalan kaki?" tanya sang Jenderal.
"Dua hari dua malam, Jenderal."
Jenderal nampak tak puas dengan usulan perwira itu, tapi dia juga tidak punya pilihan lain. Keuntungan Belanda dengan meriam-meriam yang ada di kapal otomatis tidak dapat dimanfaatkan, jika harus berjalan kaki menyusuri hutan. Jenderal tediam, memikirkan apakah pilihan itu merupakan pilihan yang terbaik, sambil menunggu jika ada perwira lain yang dapat memberikan saran.
Matahari semakin meninggi, tetapi jawaban pasti yang diharapkan oleh sang Jenderal belum juga didapatkan. Akhirnya Jenderal mengambil sebuah keputusan yang diluar dugaan.
"Kita berlabuh sekarang," perintah sang Jenderal. "Seribu lainnya tetap di kapal dan bergerak sesuai rencana, berlabuh di Ulee Lhue. Kapal ini harus bergerak cepat, jangan sampai ditangkap oleh pasukan Aceh. Seburuk-buruknya persenjataan mereka. Jika hanya melawan 1.000 orang dengan kapal sebanyak ini, tentunya kalian akan kalah."
Perintah sang Jenderal langsung dilaksanakan secepat kilat, meskipun tetap ada keraguan di hati para tentara Belanda. Kapal Belanda berlabuh di sebuah lembah, segera satu per satu tentara turun. Menyisakan beberapa ratus awak kapal dan tentara yang lemah, karena terjangkit kolera.
Mereka melewati hutan-hutan yang masih perawan. Kondisi ini tentunya menguntungkan, karena memudahkan bagi tentara Belanda menyusup ke jantung pertahanan pasukan Aceh. Meskipun begitu, mereka tetap harus waspada, karena jumlah iring-iringan mereka yang besar, tentunya akan membuat mereka jadi mudah terlihat.
Setelah melewati balik bukit, mereka bergerak menyusuri sungai untuk tiba di Kutaraja. Tak perlu waktu lama, mereka bertemu dengan perkampungan warga. Sadar bahwa terdapat gerombolan tentara yang lewat, para warga kampung ini bergegas kabur, menghindari mulut-mulut senapan tentara Belanda.
Terlambat, demi menjamin bahwa gerak tentaranya tidak diketahui pihak musuh, Jenderal van Swieten memerintahkan agar tentaranya membungkam para warga. Tembakan demi tembakan dilayangkan, satu per satu warga yang tak berdosa berguguran, beruntung ada beberapa warga yang bisa menyelamatkan diri.
"Dom (Bodoh)!" bentak Jenderal van Swieten kepada perwiranya. "Kenapa kalian menunjukkan jalan yang terdapat perkampungannya?"
Para perwira tak ada yang menjawab, terutama perwira yang memberikan jalan semula. Nampaknya dia tak sadar bahwa rencana sang Jenderal adalah menghindari konfrontasi dengan musuh seminimal mungkin, demi menyelamatkan banyak jiwa, terutama dipihak tentara Belanda, dan juga pihak musuh. Akan percuma bagi Belanda jika dapat menguasai daerah ini, tetapi kebencian rakyatnya amat dalam.
"Kita harus bersiap," perintah Jenderal. "Keberadaan kita sudah diketahui musuh. Cepat atau lambat mereka akan menyerang kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
HistoryczneCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...