"Jika kapal kita telah sampai atau wabah kolera telah menyebar seluruhnya di Kutaraja, kita bisa dengan mudah membalikkan keadaan."
Beruntung pada perang kali ini, Jenderal mereka selamat, jadi meskipun keadaan memburuk, ada seseorang yang masih bisa tenang untuk mengendalikan keadaan.
"Harus ada yang berjaga di laut, bersiap jika kapal kita tiba," ucap sang Jenderal yang disambut dnegan anggukan perwiranya tanda setuju.
Dua orang Jawa dan dua orang Ambon, dipimpin oleh seorang kapten Eropa bergerak ke arah pesisir, bersiap jika teman-teman mereka datang. Di tengah kekalutan dan kegalauan, akibat kalah dalam peperangan sebelumnya, tentara Belanda bersembunyi di atas sebuah bukit, tanpa api agar musuh tak mengetahui posisi mereka.
Dua hari mereka bersiaga penuh. Merasakan dinginnya malam, tidur bergantian, dan stok makanan yang mulai berkurang. Dalam kondisi begini mereka tak bisa bertahan lebih lama lagi. Hujan yang terus menerus mengguyur Aceh, membuat stamina mereka pun menurun. Meskipun mereka memiliki obat untuk menjaga mereka dari kolera, tetapi mereka tak memiliki obat untuk menjaga mereka dari rasa takut mati.
Tiba-tiba dari bawah bukit berlari dua orang tentara Belanda, yang pergi berjaga sebelumnya di pesisir. Terlihat peluh di dahi mereka dan baju mereka yang basah, akibat berlari di tengah lebatnya hujan. Jenderal van Swieten dan tentara Belanda lainnya menunggu dalam kecemasan, menanti kabar yang dibawa dua tentara ini, apakah kabar baik atau buruk.
Waktu terasa bergerak begitu lambat, ketika mereka menunggu dua tentara ini menuju ke arah mereka. Semua orang berdiri, tak ada yang sanggup untuk menahan kecemasan di dadanya sambil duduk. Ada yang melompak-lompat, ada yang menghentak-hentakkan kakinya, bahkan ada yang menggigit kuku jarinya, menunggu kabar yang akan telah lama dinantikan. Dua hari bersiapa di tempat ini, seperti dua tahun bagi mereka.
Begitu sampai di tempat persembunyian, begitu banyak pertanyaan yang memburu bersamaan nafas mereka yang memburu kehabisan oksigen. Pertanyaan demi pertanyaan tak bisa mereka langsung jawab, karena mereka sendiri kehabisan nafas berlari sekuat tenaga menyusuri lembah dan menaiki bukit, tetapi ketika mereka melihat Jenderal mereka datang mendekat, mereka berdua langsung berdiri tegap.
"Bagaimana?" tanya sang Jenderal sedatar mungkin berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.
"Kabar baik Jenderal. Kapal kita mulai terlihat," ucap salah seorang tentara dengan nafas terengah-engah. "Tiga orang lainnya menuju kapal, sedangkan kami berdua kembali kesini memberikan kabar, sesuai dengan perintah Jenderal sebelumnya."
"Bagus," ucap Jenderal datar.
Semua tentara Belanda bersorak-sorai menerima kabar gembira ini. Mereka melihat secercah harapan di tengah kekalahan dan kematian yang menghantui mereka. Kali ini giliran mereka menyerang dengan kekuatan penuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Fiksi SejarahCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...