Meriam

49 7 0
                                    

Sejak malam pelabuhan Ulee Lheue telah ramai, bukan oleh pedagang atau pelancong yang biasa datang ke pelabuhan ini, tetapi oleh barisan pasukan yang terdiri dari tentara dan rakyat Aceh yang siap bertempur. Staregi perang yang disampaikan oleh Panglima Polim, membuat para pasukan harus bersiap untuk berperang di laut, maka pelabuhan ini menjadi markas komando pasukan.

Sepuluh ribu orang pasukan Aceh berbaris rapi, tetapi hanya 5.000 orang dari mereka yang benar-benar tentara yang terlatih, sementara 5.000 lainnya hanyalah petani, nelayan, bahkan pedagang yang biasa berjualan dari pasar. Tak ada yang memaksa mereka untuk datang, mereka datang untuk menjawab panggilan Sultan beberapa hari sebelumnya, demi melindungi rumah mereka dari para perampok jahanam.

Udara dingin ditambah angin yang kencang menusuk hingga tulang, tetapi ini tak membuat para pasukan gentar. Semntara itu beberapa puluh kilometer, kapal-kapal Belanda bergerak mendekati Pelabuhan Ulee Lheue, yang terdiri dari beberapa ratus kapal.

Pasukan Belanda meskipun memiliki jumlah tentara yang sedikit, tetapi mereka dilengkapi oleh senjata yang lengkap dan juga terbaru. Senapan-senapan mereka mampu mengisi peluru dan melakukan tembakan dalam waktu yang cepat, berbeda jauh dengan senapan yang dimiliki Aceh. Inilah yang membuat Mayor Jenderal Kohler yakin bahwa mereka akan mendapat kemenangan mudah, bahkan bisa jadi Aceh akan menyerah tanpa adanya perlawanan.

"Duaaar," tembakan meriam pertama dari Belanda menghantam sisi pelabuhan, membuat beberapa orang terbunuh seketika.

"Darimana asal serangan itu?" teriak Panglima Polim pada pasukannya.

Jarak pasukan Belanda yang masih jauh dari pelabuhan, membuat pasukan Aceh tak siap menerima serangan.

"Dari arah Utara, Panglima," jawab sesorang yang berdiri di menara pengawas.

"Segera balas tembakan," perintah Panglima Polim.

Para pasukan segera mengarahkan meriam ke pasukan Belanda, bersiap untuk menenggelamkan mereka ke laut untuk selamanya.

"Tembaaak."

Hening, tak ada suara ledakan, tak ada suara tembakan yang mengikuti perintah Panglima Polim barusan. Panglima Polim mendekat ke arah pasukan meriam, heran kenapa belum juga terdengar suara ledakan.

"Kenapa belum di tembak?" tanya Panglima Polim marah sambil menarik kerah baju pasukannya.

"Jaraknya terlalu jauh panglima, meriam kita tidak mungkin sampai," jawab orang itu ketakutan.

Panglima Polim memandang tajam mata pasukannya itu. Pandangan yang penuh kharisma sekaligus mengintimidasi itu membuat para pasukannya terdiam. Akhirnya mereka terpaksa menembakkan meriam-meriam itu.

Benar saja tak ada suara ledakan yang terdengar. Meriam itu tak pernah sampai ke kapal-kapal pasukan Belanda, melainkan tenggelam ke dasar lautan.

Keuntungan ini dimanfaatkan pasukan Belanda. Mereka bergerak cepat mendekati pelabuhan, terus menembak dan meluluhlantahkan Pelabuhan Ulee Lheue. Pasukan Aceh tak bisa berbuat banyak, menunggu Belanda terus mendekat, sehingga masuk ke jarak tembak mereka.

Begitu memasuki jarak tembak, Pasukan Aceh segera melakukan serangan balasan. Beberapa kapal Belanda tenggelam, tetapi jauh lebih banyak yang selamat dan berhasil lolos. Terhitung dua belas tembakan berhasil mengenai kapal induk yang ditumpangi oleh Jenderal Kohler, tetapi keperkasaan kapal itu membuatnya berhasil bertahan sampai di Pelabuhan.

Cut : Perang Dalam DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang