Tak sampai setahun, Gubernur Jenderal Belanda, James Loudon memerintahkan penyerangan kedua terhadap Aceh. Dia merasa malu terhadap Ratu Belanda, karena tak dapat membawa kabar gembira bagi negaranya. Justru kekalahan dan kerugian yang sangat amat diderita oleh Kerajaan Belanda.
Kapal-kapal segera berbaris rapi di Pelabuhan Sunda Kelapa, bersama dengan 10.000 pasukan dan 4500 pembantu atau kuli. Gubernur Jenderal menunjuk Jenderal Jan van Swieten yang menjadi pemimpin armada besar ini. Jumlah ini empat kali lipat dari pasukan Belanda yang dikirim pertama kali melawan Aceh. Belanda tidak mau lagi kecolongan, menderita kekalahan akibat meremehkaan kekuatan Aceh. Kali ini mereka berangkat dengan kekuatan penuh.
Angin utara bertiup dari bulan Desember hingga Februari membawa uap air yang menyebabkan udara lembab. Udara yang gerah di kapal tidak serta merta membuat para penumpang ingin segera sampai di tujuan. Bayaangan pasukan Aceh yang mampu mengalahkan mereka menjadi hantu menyeramkan yang terus membayangi mereka.
Di tengah laut, meskipun kapal melaju dengan mantap, tetapi hati para penumpang justru makin cemas bersamaan dengan kapal yang terus bergerak mendekat. Ditambah ada hantu lain yang bersemayam di kapal-kapal Belanda, selain rasa takut. Hantu yang telah menewaskan banyak korban. Siapapun yang didatangi oleh hantu itu, maka tak lama lagi giliran dia yang menemui sang Pencipta. Hantu itu mengikuti mereka semenjak keberangkatan mereka dari Batavia. Hantu itu bernama Kolera.
Udara lemabab membuat kolera semakin mudah menyebar. Satu per satu tentara Belanda berjatuhan, kalah bahkan jauh sebelum perang dimulai. Jenazah mereka dilarung ke laut untuk mencegah infeksi yang menular. Hawa kekhawatiran timbul dari wajah seluruh tentara Belanda, bahkan sampai ke Jenderalnya.
"Berapa lama lagi kita sampai di tempat berlabuh?" tanya Jenderal van Swieten kepada juru mudi kapalnya.
"Tiga hari lagi Jenderal," jawab juru mudi.
"Tiga hari? Bahkan pasukan kita tak bisa bertahan sampai satu hari lagi," ucap Jenderal kesal.
"Tapi Jenderal jika kita melaju lebih cepat, bisa membuat iring-iringan kapal kita tercerai-berai ketika sampai nanti," jawab juru mudi.
Meskipun yang dikatakan juru mudi benar, tetapi sang Jenderal tak kehabisan akal. Dia segera mengumpulkan para perwiranya di kapal komando.
"Kita harus segera berlabuh. Jika menunggu satu atau dua hari lagi, maka bisa dipastikan kita akan kalah sebelum perang," ucap Jenderal van Swieten. "Moral tentara kita sudah dalam titik terendahnya. Tentara kita sudah tidak berpikir untuk menang, hanya mementingkan keselamatan dirinya."
Para perwira menatap Jenderalnya dalam diam. Mereka tak punya ide ataupun, tapi juga tak bisa membantah sang Jenderal. Jika tak segera berlabuh, maka kekalahan sudah pasti berada di depan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Fiction HistoriqueCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...