Perjalanan pasukan Umar dan Dien tak mendapat perlawanan sama sekali ketika menuju Tanah Abee. Satu-satunya perlawanan hanyalah hutan lebat, pegunungan terjal, dan hewan buas, yang selama ini telah menjadi teman bagi para pejuang Aceh, yang biasa bergerilya di dalam hutan demi menghindari serdadu-serdadu Belanda.
Di tanah Abee mereka disambut oleh salah satu pemimpin perjuangan, bernama Imam Leung Bata. Tanah ini adalah tempat terdekat dari Kotaraja, yang masih melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan sengit. Di tempat ini, banyak ulama dan pejuang Aceh yang tak tergiur sedikitpun dengan janji-janji yang diberikan Belanda. Mereka berjuang mati-matian demi kemerdekaan Aceh.
Jika di markas Inong Bale, diisi mayoritas perempuan, maka di Tanah Abee ini berkumpul banyak pejuang laki-laki, baik tua maupun muda. Bahkan banyak laki-laki seumuran Keumala dan Dhuha di antara mereka.
"Umur tak akan pernah menghalangi perjuangan, sama seperti umur tak pernah menghalangi cinta," kelakar Imam Leung Bata, yang disambut tawa oleh Umar, Dien, dan para pejuang Aceh lainnya.
Di tempat ini, tak ada lagi yang bersiaga memegang senapan maupun kelewan, semua itu d Mereka merasa aman, karena belum pernah sekalipun Belanda menginjakkan kakinya di tempat ini, meskipun dengan persenjataan canggih yang Belanda punya.
"Teungku Imam," ucap Umar tiba-tiba yang merubah suasana santai, kembali menjadi tegang dan serius.
"Dalam menghadapi Belanda....," tiba-tiba ucapan Umar tertahan dengan acungan tangan dari Teungku Imam.
"Kau tak perlu mengucapkan maksudmu, aku sudah mengerti. Aku telah mengerti pergerakanmu bahwa akan berakhir kesini, semenjak kau pura-pura berteman dengan Belanda," ucap Imam Leungbata. "Rasullullah melarang kita untuk berdusta, tetapi tidak pada musuh-musuh kita. Kita harus berupaya dengan segala daya dan upaya, bahkan dengan tipu muslihat sekalipun."
Semua mengangguk setuju pada ucapan Imam Leung Bata. Ucapan Imam membuat para hulubalang, panglima sagi, dan pejuang Aceh lainnya kembali percaya pada Umar, setelah kedekatan Umar dan Belanda sebelumnya.
"Jadi imam mendukung kami?" tanya Umar.
"Kami tak mendukungmu, kami berjuang bersamamu," ucap Imam Leung Bata tegas.
"Umar telah mencipatkan peluang ini untuk kita," ucap salah seorang Panglima Sagi. "Ini adalah kesempatan terbesar, mungkin terakhir kita untuk mengusir para kaphe itu dari tanah ini."
"Tidak ada jalan balik setelah serangan yang berbahaya ini. Kita bersumpah demi Allah, Tuhan Seluruh Alam, bahwa selama jiwa masih dikandung badan, kita tidak akan pernah berteman dengan kaphe Belanda!" ucap Imam Leung Bata yang disambut sorak-sorak pejuang Aceh, sekaligus mengakhiri pertemuan siang itu.
Sementara itu, Dhuha, Keumala, dan anak-anak lainnya menunggu di luar, menanti hasil pertemuan yang dilakukan oleh para pimpinan pejuang Aceh di dalam.
"Kenapa kita tidak diajak ke dalam?" keluh Keumala sambil memasang wajah sebal pada sahabatnya Dhuha.
"Loh kok ngeluhnya ke aku?" ledek Dhuha. Keumala yang kesal tak menjawab, hanya melirik tajam ke arah sahabatnya itu.
"Iya, iya, bercanda," ucap Dhuha setelah melihat wajah masam Kemuala. "Kita kan masih anak-anak. Biarlah mereka, pemimpin-pemimpin kita, menentukan jalan yang terbaik bagi kita semua."
Meskipun tak setuju pada pendapat Dhuha, tapi Keumala hanya terdiam. Tak ada gunanya juga mengeluh pada Dhuha. Dia selalu saja punya jawaban bagi setiap keluhan yang dimiliki Keumala. Alih-alih mendukung, dia selalu melawan pendapat Dhuha.
"Ngomong-ngomong ada laki-laki yang merhatiin kamu terus tuh," ledek Dhuha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Fiksi SejarahCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...