"Menjadikan kita budak mereka di rumah kita sendiri."
Tuangku Sultan menarik nafas dalam sebelum melanjutkan pidatonya sambil melihat ke seluruh penjuru halaman masjid. Menatap satu per satu wajah penduduk Kutaraja yang berjumlah puluhan ribu itu, berharap pesan ini benar-benar tersampaikan.
"Apakah keperkasaan Aceh akan berakhir pada zaman kita? Pada generasi kita? Apakah kita akan membuat leluhur kita malu, karena takluk pada kafir-kafir Belanda itu?"
Sebuah pertanyaan retoris muncul dari mulut sang Sultan membangkitkan semangat setiap orang yang mendengarnya. Bahkan ada seorang kakek tua yang berkaca-kaca mendengar pertanyaan sang Sultan saking marahnya. Bukan marah pada orang Belanda apalagi pada Sultan, tapi marah pada dirinya sendiri, karena terlalu tua untuk ikut berjuang.
"Tak akan Tuangku," ucap kakek itu dengan suara lirih.
Suara yang lirih tapi diucapkan dengan hati yang mantap, membuat suara itu bergema di sekitar halaman masjid raya. Setiap orang yang mendengarkan suara lirih itu merasakan kemarahan, kegelisahan, dan semangat dari kakek.
"Jadi berjuanglah bersamaku, lindungi agama kita, tanah kita, anak-anak, dan istri kita, serta lindungi sejarah panjang negeri ini," ucap sultan sambil mengangkat tinjunya ke udara.
"Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!!" teriakan takbir berkali-kali bergema di halaman masjid raya bersama dengan berakhirnya pidato sang Sultan.
Sultan kembali ke belakang, berdiri di tengah antara Habib dan Panglima Polim. Panglima Polim yang selanjutnya maju, setelah Sultan memberi tanda mempersilahkannya untuk berbicara.
"Saudaraku, seperti yang telah disampaikan oleh Tuangku Sultan sebelumnya, Belanda akan menyerang kita. Mata-mata kita di Melaka dan Siam menyampaikan kabar bahwa Belanda akan tiba besok pagi dengan ratusan kapalnya. Tentara kita akan menghadang di bibir pantai, tetapi jika kita terpaksa mundur, maka area ini akan menjadi medan pertempuran. Jadi kami berharap perempuan, anak-anak, dan orang tua bisa mengungsi menjauhi area ini."
"Kami tidak akan kabur Teuku," ucap seorang ibu hamil yang sedari tadi mengusap perutnya.
Perempuan Aceh memang terkenal tak takut apapun, bahkan beberapa di antara mereka ada yang jadi komandan pasukan. Inilah yang menjadi alasan mereka melahirkan prajurit-prajurit Aceh yang gagah dan berani.
"Biarkan laki-laki yang berjuang. Kalian mengungsi lah bersama anak-anak," jawab Panglima Polim.
Perempuan itu terdiam, memandang lurus ke depan ke arah Sultan dan ke orang yang berada di belakang sultan. Orang itu adalah suaminya, seseorang yang menjadi pengawal Sultan yang tentunya akan berjuang mati-matian ketika negeri ini diserang. Suaminya itu terlihat serius mengawal Sultan bahkan sampai tak sadar bahwa tak jauh dari tempatnya berdiri ada istrinya yang memperhatikannya penuh dengan cinta.
Kandungan yang ada di perutnya seharusnya akan menjadi anak pertamanya. Anak yang telah dinantikan oleh dia dan suaminya selama lima tahun setelah pernikahannya. Tak terbayangkan olehnya jika harus hidup berdua bersama anaknya tanpa kehadiran suami yang dicintainya. Jadi dia memutuskan untuk berjuang meskipun nyawa dia dan anaknya yang menjadi taruhan.
"Apakah Teuku mengira perempuan Aceh adalah perempuan-perempuan pengecut?" tanya ibu hamil itu.
Tak ada yang bisa menang berdebat melawan perempuan apalagi perempuan hamil. Jadi Pangilma Polim hanya terdiam sambil berdoa agar ibu hamil itu bisa selamat.
"Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena mempertahankan keluarganya, nyawanya, atau agamanya maka dia syahid," tutup Habib Abdurahman Zahir mengutip hadis Rasullah sekaligus mengkahiri pidato pada hari itu.
Siang itu semua orang kembali ke atifitasnya masing-masing, tapi semua tak lagi sama. Tukang ikan membagi-bagikan tangkapannya, tukang susu membagikan hasil perahannya, dan tukang buah membagikan panennya, semua dibagikan tak bersisa. Mereka kembali ke rumah masing-masing mempersiapkan diri mereka, mempersiapkan senjata mereka. Mereka akan membuat Belanda menyesal, bukan hanya menyesal karena datang kesini, tapi menyesal karena mereka sempat berpikir menyerang Aceh.
Hari itu, waktu di Aceh berjalan begitu lambat. Salat-salat di masjid juga terasa begitu khsyu, mereka berdoa bukan untuk keselamatan mereka, tetapi untuk kemenangan Aceh, kemenangan Aceh semata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Tarihi KurguCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...