"Duaaar, Duaar!" berkali-kali suara tembakan terdengar melumpuhkan satu per satu pasukan Aceh.
Wabah kolera yang menyebar di Kutaraja, membuat banyak pasukan Aceh yang terbaring lemah. Belum lagi, pasukan yang terpaksa berangkat perang harus tetap berperang sambil menahan sakitnya. Meskipun, kedua kubu sama-sama terserang hantu yang bernama kolera, tetapi tentara Belanda jauh lebih siap dengan dokter-dokter yang berpengalaman dibandingkan pasukan Aceh.
"Lailla Ha Illallah!!!" teriak salah seorang pasukan Aceh yang terkapar akibat peluru yang menyasar di dadanya, membuatnya meninggal seketika. Tujuh puluh bidadari telah bersiap menyambutnya di surga kelak.
Pasukan Aceh terlihat mulai panik. Satu per satu korban berjatuhan dari pihak mereka, tetapi belum juga membuat pasukan Aceh bergerak mendekat. Jarak mereka masih terlalu jauh, yang menjadikan mereka sasaran-sasaran empuk senapan Belanda. Sementara itu dibagian belakang pasukan Aceh berdiri Panglima Polim yang harap-harap cemas menantikan hasil peperangan dan Habib Abdurahman yang tak henti-hentinya merapalkan doa, mengharapkan kemenangan bagi Aceh.
Langit tampak makin gelap, tetapi tak ada satupun yang memperhatikan. Awan-awan berwarna hitam gelap, tebalnya menutupi sinar matahari yang berada diatasnya. Tiba-tiba saja petir menyambar keras.
"Ctaaaar!!!!" membuat pejuang Aceh dan tentara Belanda berhenti memperhatikan, sambaran petir yang tak jauh dari mereka. Sambaran itu menimbulkan bekas, sebuah pohon besar yang terbakar oleh api. Jika saja petir itu menyampar di tengah-tengah area peperangan, pasti peperangan langsung berhenti akibat besarnya korban yang timbul dari kedua pihak.
"Ctaaaar!!!" lagi-lagi suara petir menyembar yang kali ini bersamaan dengan hujan deras yang datang tiba-tiba.
Pasukan Aceh bersorak-sorak gembira, dengan begini meriam-meriam Belanda tak dapat digunakan dan jarak tembak senapan juga berkurang. Pasukan Aceh meenderu bersamaan dengan deruan hujan. Suara teriakan mereka membuat suara gemuruh petir dan hujan yang bersahut-sahutan tak ada artinya.
Tentara Belanda yang menyadari senjata mereka tak berguna lagi lari tunggang langgang, meninggalkan meriam-meriam mereka yang tak bisa dibawa lari. Pasukan Aceh terus saja mengejar meskipun tentara Belanda sudah tak bisa lagi berperang, mereka ingin mengusir tentara Belanda untuk terakhir kalinya, agar mereka tak kembali lagi.
Sekali lagi pasukan Aceh bisa bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Fiksi SejarahCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...