Strategi licik yang dilakukan Belanda berhasil. Terbukti dalam waktu dua hari, penyakit kolera telah menyebar ke beberapa warga. Satu per satu merasakan gejala tak enak pada tubuhnya. Ada yang merasakan mual, muntah, hingga diare. Awalnya ini dikira wajar, dipikirnya mereka salah makan, tetapi ketika menyebar ke seluruh kota kepanikan mulai muncil. Apalagi diare parah, yang dapat membuat korbannya lemas sampai hampir pingsan.
Hari itu cuaca sedang mendung, seperti hari-hari sebelumnya di Bulan Desember, hujan bisa turun hingga seharian, tetapi pagi ini tak hujan, hanya mendung dari awan-awan yang menggantung.
"Bagaimana kondisi di Kutaraja?" tanya Jenderal van Swieten.
"Mata-mata kita mengatakan sebagian penduduk Kutaraja sudah mulai terjangkit kolera, Jenderal," jawab seorang perwira.
"Uitzonderlijk (luar biasa), kita sudah mulai bisa bergerak," perintah Jenderal.
Perintah sang Jenderal segera dipatuhi. Tentara Belanda mulai bersiap, membariskan pasukannya dalam dua baris besar, dengan artileri pada barisan belakang. Meskipun awan telah menggantung tebal, tetapi pasukan Belanda berharap hujan tak turun, karena bisa membuat artileri mereka menjadi tak berguna.
Di seberang, dalam jarak beberapa ratus meter, pasukan Aceh juga ikut berbaris rapi. Meskipun tak secanggih artileri Belanda, tetapi mereka juga memiliki artileri bernama Rentaka. Meriam portabel, yang mudah dipindah-pindah, tetapi tak memiliki jangakuan tembak sejauh meriam Belanda.
"Seraaang!" teriak Panglima Polim memerintahkan pasukan Aceh ketika mereka berhadap-hapadan dengan tentara Belanda.
"Aanval!" balas Jenderal van Swieten.
Pasukan Aceh yang memiliki keterbatasan peralatan perang, harus berusaha memperpendek jarak, agar kelewang dapat digunakan. Sementara itu, posisi jarak yang jauh justru menguntungkan tentara Belanda.
"Dhuuuum!" suara meriam Belanda memecah keheningan, menjadi awal pembuka dalam perang kedua antara Aceh dan Belanda.
Tembakan demi tembakan menyebabkan suara memekikan telinga yang bergema di langit, membuat burung-burung dan binatang lain lari dari sarangnya. Lari dari pertempuran dua kubu manusia yang memperebutkan haknya, yang satu meminta hak untuk menjajah dan yang satu mempertahankan haknya untuk merdeka.
Pasukan Aceh bergerak berpencar, memecah menjadi bagian-bagian kecil agak tidak mudah menjadi sasaran bagi meriam Belanda. Aceh pun menembakkan meriam-meriamnya, mengenai tentara Belanda yang berbaris di depan, sebelum akhirnya bisa dillumpukan oleh meriam Belanda yang memiliki jarak tembak lebih jauh.
"Duaaar, Duaar!" berkali-kali suara tembakan terdengar melumpuhkan satu per satu pasukan Aceh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Historical FictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...