Beberapa hari berlalu setelah kejadian tertembaknya Keumala, demi melindungi suaminya Frans. Setelah kejadian itu, dua tentara Belanda itu membiarkan Frans menguburkan dan mengadakan pengjian untuk istrinya. Frans yang pasrah setelah meninggalnya istrinya, hanya mengikut, ketika tentara Belanda membawanya untuk di penjara di Kutaraja. Sementara itu anaknya yang masih kecil, Maryam, dia titipkan oleh tetangga, yang telah dia dan Keumala anggap sebagai saudara sendiri.
Hari-hari berlalu dengan kehampaan di hati Frans, yang telah kehilangan orang yang sangat dicintainya. Bahkan dia lupa, pada seorang perempuan lagi yang dia tinggal sendirian, yaitu Maryam, putrinya.
Bayangan akan kematian Keumala yang mengenaskan, terus datang di setiap malam tidurnya, hingga membuatnya tak berani untuk tertidur. Pernah suatu waktu saat mengantuk yang amat sangat menyerang dirinya, tanpa sadar dia tertidur, lalu dia bermimpi. Mimpi yang sama yang diulangnya belasan kali semenjak di penjara ini, hari kematian istrinya, tertembak peluru Belanda.
Rasa bersalah terus menggerogoti dirinya, hingga badannya menjadi terlihat kurus sekali, sepeti tulang belulang tanpa adanya daging. Jatah makan yang selalu dibagikan oleh sipir penjara tak disentuhnya sama sekali. Dia berpikir bahwa, jika bukan karena dirinya, pasti istrinya masih hidup sampai sekarang. Jika saja dia menyerahkan diri, pasti istrinya akan aman-aman saja. Tetapi ada satu hal yang dia tidak sadari, bukan dirinya lah yang menentukan kehidupan atau kematian, melainkan Yang Maha Kuasa atas segalanya, baik yang hidup maupun yang mati.
Sebulan setelah mendekam di penjara, sebuah kunjungan datang untuk Frans. Anaknya yang masih kecil tak mengerti, apa yang terjadi pada ayah dan ibunya, dan kenapa dia ditinggalkan sendirian waktu terbangun di sore hari itu, di hari saat ibunya tertembak.
"Ayaaah," ucap Maryam itu dengan sedikit pelo, membuat ucapannya sulit untuk dimengeti, tapi bagi ayahnya ucapan anaknya itu jelas, sejelas perbedaan antara siang dan malam.
"Kapan ayah pulang?" tanya Maryam.
Pertanyaan anaknya itu tak bisa langsung Frans jawab, Frans malam menjawabnya dengan air mata dan gelengan kepala.
"Kenapa ayah?" tanya Maryam, kebingunan melihat ayahnya menangis sedari tadi.
Frans tetap tak bisa menjawab, air matanya terus mengalir tanpa dia bisa menghentikannya. Pertanyaan dari Maryam itu pun tak bisa dia jawab, dia tak tahu kapan dia pulang, bahkan dia tak tahu apakah dia akan pulang atau tidak.
Kunjungan itu terlihat begitu menyedihkan, Frans terus saja meneteskan air mata dan tak bisa berbicara sedikit pun. Sementara, Maryam hanya bisa diam memperhatikan keanehan yang terjadi pada ayahnya. Setelah beberapa lama, seorang penjaga masuk dan mengatakan itu adalah akhir dari kunjungan. Maryam kembali pergi bersama tetangga yang selama ini merawatnya.
Dua bulan setelah Frans berada di penjara, seseorang datang menemuinya, mengatakan bahwa dia akan dibawa ke Batavia untuk diadili disana. Dia memberikan kesempatan terakhir kali kepada Frans untuk mengucapkan selamat tinggal kepada anaknya. Disaat itulah Frans melawan dan memikirkan nasib putrinya.
Dia tak mau putrinya bernasib sama seperti ibunya, yang ditinggal kedua orang tuanya diumur yang amat belia. Meskipun istrinya telah pergi, Frans ingin agar dia tetap bisa berada disamping putrinya, menemaninya hingga dewasa.
"Bantu aku mendapatkan kebebasanku," ucap Frans.
"Apa maksudmu?" tanya orang itu sambil tertawa terbahak-bahak. "Apakah kau lupa apa yang telah kau lakukan? Kau tak mungkin dapat kebebasan, bahkan bisa-bisa kau dihukum mati."
"Aku akan memberikan sesuatu untuk kebabasan ku," jawab Frans cepat.
Orang itu berusaha mencerna omongan Frans. Tak ada yang bisa diberikan oleh pengkhianat ini demi menebus dosanya, pikir orang itu.
Tetapi demi menghargai lawan bicaranya, orang itu mempersilahkan Frans memberikan penawarannya. Dia memasang kuping demi mendengar ucapan Frans, bersiap untuk tertawa lagi.
"Aku akan memberikan Dien."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
HistoryczneCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...