"Belanda menyerang!" teriak seorang laki-laki muda. Laki-laki itu berwajah kusam dengan kaki penuh darah. Dia berlari semalaman melintasi hutan demi segera sampai di Kutaraja secepatnya.
"Keluargaku... dan para warga...," ucap laki-laki itu histeris.
Para penduduk Kutaraja heboh, menghampiri laki-laki itu penuh rasa iba dan penasaran. Mereka bergegas mengajak laki-laki itu ke masjid raya bertemu dengan Habib Abdurahman Az Zahir.
"Diminum dulu airnya," ucap Habib sambil menyodorkan air. "Tenangkan dulu dirimu, baru lanjutkan bercerita."
Laki-laki itu meneguk airnya dengan cepat, lalu meminta tambah dan menghabiskannya lagi. Dengan tarikan nafas panjang, dia memulai ceritanya. Dia bercerita bagaimana Belanda melewati perkampungannya pada malam hari. Tak ada satupun yang menyadari hingga Belanda benar-benar dekat. Banyaknya jumlah tentara, membuat mereka tak dapat bergerak tanpa suara.
Lalu seorang warga terbangun dan berusaha membangunkan warga lainnya. Sialnya, dia ketahuan. Belanda langsung berusaha membungkan mulut-mulut kami. Mereka mengarahkan mocong senapan, menembak, membuat satu per satu warga berguguran. Tak puas sampai disitu mereka membakar rumah-rumah warga.
Beruntung laki-laki itu bisa mengendap-ngendap dan menyelamatkan diri. Sekuat tenanga dia berlari di tengah gelapnya malam demi memberi peringatan ke Kutaraja dan juga membalaskan dendam kerabatnya.
"InsyaAllah keluargamu syahid," ucap Habib Abdurahman berusaha menenangkan.
"InsyaAllah bib," ucap laki-laki itu dengan bercucuran air mata.
Hari itu terjadi kepanikan di Kutaraja. Sakit akibat pukulan sebelumnya belum sembuh, tetapi pukulan berikutnya akan datang. Meskipun pasukan Aceh menang pada perang pertama, tetapi Aceh menderita kerugian yang besar, yang sulit untuk di pulihkan.
Laki-laki yang kabur itu menjadi penyelamat bagi penduduk Kutaraja, jika tak ada dia, maka istana Sultan pasti akan jatuh dalam waktu semalam. Dirinya lah yang memberikan waktu pagi penduduk Kutaraja dan pasukan Aceh bersiap menerima gempuran dari Belanda.
"Kalian tak bisa disini," ucap Dien kepada ibu Keumala. "Larilah, pergilah dari Kutaraja."
"Aku tak bisa meninggalkan tempat ini. Suamiku mati demi melindunginya. Mau ditaruh mana mukaku ketika bertemu dia kelak di akhirat, jika harus kabur dari tempat ini."
"Aku yakin, melindungi Keumala justru menjadi keinginan suamimu," bujuk Dien.
Ibu Keumala tampak bimbang. Memang jika sendirian dia tak ragu melesat ke barisan paling depan untuk menghadapi tentara-tentara Belanda. Dia cukup menyesal ketika tidak bisa ikut pada perang pertama yang membunuh suaminya, karena mengandung Keuamala.
"Tapi seharusnya aku ikut mengusir Kaphe (Kafir) itu," ucap ibu Keumala.
Sebagai salah satu perempuan yang dulunya merupakan anggota armada Inong Bale, tentunya ibu Keumala merasa malu jika tidak ikut berjuang.
"Serahkan perjuangan ini kepada kami," ucap Dien seolah bisa membaca pikiran ibu Keumala.
"Perjuanganmu adalah merawat anakmu. Lagi pula jika terjadi sesuatu padamu, anakmu bagaimana? Mau kau serahkan ke Kaphe itu?" tanya Dien.
'Serahkan ke Kaphe, enak saja. Tanah ini saja aku tak bersedia menyerahkannya, apalagi anakku sendiri,' pikir ibu Keumala.
Demi mendengar ucapan Dien, akhirnya ibu Keumala mengalah. Dia berjalan keluar Kutaraja bersama dengan orang-orang lain yang ikut mengungsi. Mereka berjalan menjauh meninggalkan kota yang telah dibangun selama 400 tahun ini.
Ibu Keumala sambil menggendong Keumala, memperhatian kota itu lamat-lamat. Setiap sudutnya, pasarnya, semuanya diperhatikan secara seksama, seolah dia tahu bahwa dia tidak akan bisa lagi kembali ke kota ini. Kota tempat kelahirannya, kota tempat dia bertemu suaminya, dan kota tempat dia melahirkan anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Ficção HistóricaCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...