"Kami juga akan ikut berperang," ucap Keumala dan teman-temannya ketika menghadap Dien di depan kediamannya. Mereka semua tahu ketika mendengar takbir berkali-kali diteriakan dari ruang pertemuan pasti genderang perang sedang ditabuh. Jadi mereka ingin memastikan bahwa kali ini mereka akan diikut sertakan.
Dien tampak kawatir. Meskipun dia telah melatih anak-anak ini sejak masih kecil, tapi layaknya seorang ibu, dia tetap kawatir jika mereka ikut serta dalam perang.
"Perang itu kejam, nak," ucap Dien. "Tak layak bagi anak-anak yang masih muda seperti kalian semua."
"Lalu untuk apa Mak melatih kami selama ini? Bukankah untuk saat-saat seperti sekarang ini?" ucap salah seorang teman Keumala.
"Tapi bukan sekarang, bukan saat ini," jawab Dien.
"Kalau bukan saat ini, lalu kapan Mak?" kali ini giliran Keumala yang bicara. "Apakah menunggu kita benar-benar kalah dari Belanda hingga kita tak punya kekuatan lagi untuk melawan? Apa menunggu rumah-rumah kita dijarah dan anak-anak perempuan diperkosa?"
Keumala yang teringat kejadian menyiksa beberapa tahun silam, terisak sambil berkata demikian. Teman-temannya pun heran melihat sikap Keumala. Keumala yang biasanya datar dan dingin, kali ini meluapkan emosinya dengan menggebu-gebu. Tapi luapan hati Keumala ini yang justru dapat meluluhkan hati Dien.
Dien memandang satu per satu anak didiknya yang sudah tumbuh besar menjadi gadis remaja. Jika saja kondisi Aceh sedang damai, pasti ada di antara mereka yang sudah dilamar oleh lelaki rupawan, tetapi kondisi yang tidak memungkinkan membuat mereka harus tinggal dibenteng ini.
"Terima kasih telah tumbuh menjadi anak yang baik," ucap Dien sambil memeluk satu per satu anak didiknya.
"Kalian boleh ikut berperang, tetapi bukan digaris depan," ucap Dien yang akhirnya mengalah. "Kalian akan pergi bersamaku, kita akan berada dalam satu pasukan, saling menjaga, saling melindungi, pasukan Inong Bale."
"Iyaaaahhh!!!!" teriak Keumala dan teman-temannya sambil meninjukkan tangan ke langit.
"Hidup Inong Bale!!! Hidup Inong Bale!!!"
Setelah itu mereka semua berpelukan erat, saling berjanji untuk menjaga satu sama lain. Bukan hanya menjaga nyawa, tetapi yang lebih penting menjaga harga diri masing-masing dari mereka. Karena tak ada yang lebih penting dari harga diri, bagi perempuan Aceh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Historical FictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...