"Frans, snel (cepat)!" ucap Kapten Loudon dari atas kapal.
Frans tak menjawab dan berusaha mempercepat langkahnya. Frans Pauwels adalah seorang tentara muda, yang baru saja di datangkan dari Belanda. Dia bukanlah tipe orang yang suka bekerja fisik, sehari-hari dia menjadi akuntan yang hanya duduk di balik meja, tetapi krisis ekonomi di Eropa membuatnya tak memiliki banyak pilihan.
Salah satu pilihan yang terbuka lebar adalah menjadi tentara yang dikirim ke Hindia Belanda. Meskipun jauh dan banyak cerita yang menyeramkan, tetapi bayarannya besar, cukup bagi Frans untuk menghidupi dirinya, keluarganya, dan menabung untuk membuka usaha lain di Belanda.
Sebelum diberangkatkan ke Aceh, terlebih dahulu dia dilatih menggunakan senjata. Dia cukup ahli disitu, mungkin karena perhitungannya yang hebat, tetapi urusan latihan fisik, dia selalu tertinggal dari temannya yang lain. Dia bersama teman-temannya adalah rekrutan baru yang sedang gencar-gencarnya dilakukan Belanda. Meskipun di Hindia kondisi relatif aman, tetapi Belanda terus saja merekrut tentara dalam jumlah besar.
"Peperangan di Aceh sedang sengit-sengitnya!" ucap salah seorang yang di dengar Frans ketika awal-awal mengikuti perekrutan.
Frans harus menempuh perjalanan panjang sebelum dia akhirnya sampai di Aceh. Dia terlebih dahulu singgah di Batavia untuk mengisi perbekalan dan juga melapor. Perlu waktu seminggu agar semuanya selesai.
"Hei, langzaam (lamban)!" bentak Kapten Loudon untuk kedua kalinya, ketika melihat pergerakan Frans yang kalah cepat dengan tentara-tentara lainnya sewaktu menurunkan barang di Pelabuhan Ulee Lheuee.
Frans sebenarnya sudah mau menyerah ketika naik ke atas kapal, tetapi dia tak punya pilihan lain, tetap pergi atau jadi gelandangan di Belanda. Sementara itu, gelandangan bukanlah pilihan yang tepat, mengingat jumlah gelandangan di Belanda yang telah meningkat tajam dalam sepuluh tahun terakhir.
"Tenanglah, nak," ucap salah seorang tentara yang lebih tua kepada Frans. "Kapten memang seperti itu, arogan. Jika dia terus seperti, maka dia akan kehilangan rasa hormat dari seluruh anak buahnya."
Demi mendengar itu, Frans menyempatkan untuk menoleh. Laki-laki yang mengajak bicara padanya itu, adalah seorang laki-laki berumur empat puluh tahunan. Dia berasal dari Prancis, yang juga ikut bergabung ke Hindia Belanda, karena permasalahan yang sama dengan Frans, krisis ekonomi.
"Namaku Albert," ucap laki-laki itu.
"Frans," jawab Frans singkat. Setelah perkenalan singkat itu, Frans melanjutkan pekerjaannya.
Hari demi hari berlalu dengan sangat lambat. Udara yang panas dan lembab, membuat Frans kewalahan. Dia berkali-kali terjatuh sakit dalam setahun terakhir, dengan segala macam bentuk penyakit. Perlu waktu lebih lama bagi dia untuk menyesuaikan diri dibandingkan teman-temannya yang lain. Begitu dia mulai nyaman dan terbiasa, serangan itu tiba.
Beruntung bagi Frans, karena pada waktu itu dia tidak ditempatkan di pos terluar. Dia diperintah untuk berjaga di dalam daerah konsentrasi. Sebenarnya daerah itu juga tidak perlu dijaga, karena pada hari-hari sebelumnya tak ada orang Aceh yang berani menyerang. Frans justru bertugas menjaga ketertiban di daerah itu, dia cenderung menjadi polisi dibandingkan dengan tentara.
"Apa kabar nak?"
Suara itu terdengar begitu saja, mengagetkan Frans yang sedang fokus memperhatikan keluar tembok, takut-takut pasukan Aceh tiba-tiba datang menyerang. Frans menengok, ternyata suara berat itu terdengar dari mulut Albert.
"Apa kabarmu, nak?" tanya Albert ulang, karena tak mendengar jawaban dari Frans.
"Gawat, pak Tua. Sudah banyak teman-temanku yang gugur," jawab Frans.
Panggilan pak Tua diberikkan kepada Albert, oleh Frans dan teman-temannya, karena usianya yang sudah terlampau tua untuk menjadi tentara bawahan. Seharusnya dengan umurnya, dia sudah bisa menjadi kapten, kolonel, atau bahkan Jenderal.
"Berarti teman-temanku juga," ucap Albert.
Frans menyengir meledek Albert, yang dibalas tinju pada bahu Frans. Di tengah tragedi dan kepanikan yang mereka alami, mereka menyempatkan diri bercanda, meledek, untuk menghibur hati mereka yang sebenarnya sudah tak karuan, antara takut, gelisah, kawatir, semua bercampur jadi satu.
"Ternyata inilah alasan mereka memberikan bayaran yang mahal pada siapapun yang mau jadi tentara ke Aceh," ucap Frans tiba-tiba di tengah kebersamaannya dengan Albert.
Albert sempat tercengang mendengarkan ucapan Frans, ucapan dari seseorang yang telah putus asa. Apa yang dirasakan oleh Frans adalah perasaan yang sama, yang dirasakan oleh semua tentara yang ditugaskan di Aceh, termasuk dirinya. Aceh menjadi sebuah mosnter yang jauh lebih besar dibandingkan wilayah lain di Hindia. Mimpi buruk bagi seluruh Belanda, bahkan bagi Ratu Wilhelmina.
"Tetapi apa kita punya pilihan lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Fiction HistoriqueCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...