31

5.3K 748 35
                                    

"Aku sama seperti pasien itu," jawab Arzan dengan ragu-ragu.

Damian yang mendengar itu sontak mendengus kesal. Jika tahu begini dirinya tidak akan repot berdebat dengan lelaki itu.

"Aku minta kamu donor darah. Hal itu tidak akan buat darah kamu habis atau menjadi sial," sindir Damian dengan muka datar.

Arzan terlihat menatap peralatan medis dengan ragu-ragu. Damian sontak mengikuti arah pandang lelaki itu. Ia menyeringai kecil dengan mengambil sebuah alat medis.

"Ternyata kamu takut sama jarum suntik," ledek Damian dengan mengarahkan kepada Arzan.

Arzan yang mendengar itu hanya mengangguk tengkuknya. Para wartawan yang mendengar itu sontak tertawa terbahak-bahak.

Damian yang mendengar itu sontak menjadi kesal. Ia membalikkan tubuhnya dengan menatap beberapa orang yang masih tertawa.

"Kalian puas sekali melihat orang ketakutan. Tapi ... sekali tadi saya meminta tolong justru takut keberuntungan menjadi hilang. Aduh, pemikiran yang kolot sekali," cibir Damian dengan terkekeh geli.

"Lo ..."

Damian menatap kearah Arzan yang wajahnya tampak memucat. Ia membawa lelaki itu kedalam pelukannya.

Ia mulai menyingsing baju kaos lelaki itu. Ia memasang jarum ke lengan lelaki itu dengan perlahan.

Ia dapat merasakan tubuh lelaki itu tampak gemetaran. Ia mengelus rambut lelaki itu dengan perlahan untuk memberikan ketenangan.

Damian menatap kantong darah yang hampir penuh. Setelah penuh ia melepaskan jarum pada lengan lelaki itu.

"Sudah selesai," ucap Damian dengan melepaskan pelukannya pada lelaki itu.

Arzan menghela napas lega. Ia menatap darahnya dengan merinding. Ia merasa aneh setiap kali menatap darahnya sendiri berbeda dengan darah orang lain.

"Kalian keluar dari sini. Kami akan melanjutkan operasi untuk melepaskan pisau itu dari pasien," ucap Damian lalu menutup tenda itu.

Semua orang menunggu diluar dengan khawatir. Pihak kepolisian juga ikut berjaga di sekeliling tenda untuk berjaga-jaga takutnya ada serangan dadakan.

Setelah tidak lama para dokter dan perawat mulai keluar dari tenda. Damian juga keluar dengan melepaskan sarung tangannya. Ia juga melepaskan pakaian dan alat pelindung lainnya.

Arzan menghampiri lelaki itu dengan tersenyum tipis. Ia mengacak rambut lelaki itu dengan menatapnya bangga. Lelaki itu selalu bisa membuatnya jatuh hati di setiap saat.

"Apa kamu tidak berterima kasih sama aku?" celetuk Arzan dengan mengelus wajah Damian.

Damian mendengus malas. "Apa kamu tidak ikhlas membantu orang?"

"Tentu saja ikhlas. Tapi ..."

Cup!

Arzan memegang bibirnya. Ia baru mendapatkan sebuah kecupan di bibirnya.

"Kamu mau hadiah bukan? Itu sudah saya beri jadi jangan cari masalah lagi," ucap Damian dengan wajah memerah. Setelah itu berlari meninggalkan yang lain.

"Aku semakin yakin sebentar lagi dia akan bertekuk lutut dibawah ku," gumam Arzan dengan menyeringai.

***

Sekarang sudah beberapa minggu yang mereka lewati. Semua warga desa dengan para tamu juga semakin akrab.

Hal ini terlihat para petugas medis dan wartawan itu membantu warga desa. Mereka sekarang berada pada kebun teh yang menjadi pekerjaan dominan para warga desa.

Damian membantu untuk mengambil pucuk teh dengan tersenyum lebar. Ia sudah cukup lama tidak bebas seperti sekarang. Mungkin lebih bebas dari masa SMA dirinya dulu.

Dulu saat waktu SMA dia tidak bebas seperti remaja seumuran dirinya. Seluruh hidupnya dihabiskan untuk belajar meneruskan bisnis keluarganya.

Sebenarnya ia tidak menginginkan menjadi penerus Demon Master. Jika dia menolak maka buku sekolahnya akan di robek sang papa.

Ia tidak ingin menjadi pembunuh dingin yang dipenuhi banyak darah. Ia juga tidak ingin kehidupannya terus hampa tanpa mempunyai pekerjaan yang diinginkan olehnya.

Ia mencintai pekerjaan yang bisa membantu orang lain. Ia menyukai orang lain tersenyum dengan anggota keluarganya.

Keluarganya terus saja ikut campur dalam kehidupannya. Ia tidak bisa memilih kehidupan yang diinginkan olehnya. Ia tidak bisa memilih bahkan dalam urusan percintaan.

Sang papa memilih calon istri untuk dirinya. Ia tidak bisa menolak sang papa karena kehidupannya dikendalikan oleh mereka. Ia bahkan tidak bisa menolak saat sang papa memintanya menikah diusia yang masih muda.

Namun, kenyataannya istri yang dipilih oleh sang papa tidak sebaik itu. Selama ini ia terus saja bersabar dan setia.

Ia juga memilih jurusan yang disukai olehnya secara diam-diam. Ia juga berpura-pura sedang masih belajar di SMA. Ia sebenarnya sudah berada di bangku kuliah karena dulu mengikuti kelas akselerasi.

Saat kedua orang tuanya pergi. Tiba-tiba ia mendengar pesawat yang di tumpang oleh mereka terjatuh. Saat itu ia tidak tahu antara bahagia atau sedih.

Bahagia karena kehidupannya tidak bisa lagi diatur oleh mereka. Sedih karena tidak bisa bertemu dengan mereka lagi walaupun mereka tidak harmonis seperti keluarga lain.

"Pak Damian!" teriak Nika dengan mencubit lengan Damian.

Damian sontak merintih pelan. Ia mengelus lengannya yang di cubit oleh wanita itu.

Ia sontak menatap tajam. "Kamu itu sepertinya tidak ada kerjaan. Apa kamu ingin dapat pekerjaan?"

"Hehe, nggak perlu! Saya udah cukup capek," tolak Nika dengan cengengesan.

"Capek melulu! Kamu saja kerjaannya hanya tidur sama makan!" cibir Damian lalu melanjutkan acara mengambil pucuk teh.

"Bapak nyebelin, deh!" gerutu Nika dengan meninggalkan Damian.

Para petugas medis yang melihat itu sontak mengejek Nika. Damian juga ikut mengejek gadis itu sesekali tertawa puas. Gadis itu memang cocok untuk ternista sama mereka.

Namun, dari kejauhan ada Arzan yang menatap mereka dari kejauhan. Arzan mulai mengambil foto dengan tersenyum lebar.

Arzan menatap foto Damian yang sedang tersenyum. Ia kembali mengambil foto kegiatan yang dilakukan oleh mereka.

Para wartawan itu datang hanya melakukan tugas dokumentasi sekaligus menambah dana. Orang-orang itu tampak gembira karena bisa mendapatkan bahan untuk berita mereka nanti.

Namun, berbeda dengan Arzan. Dia bahagia karena selama disini hubungan mereka semakin dekat. Ia tidak menduga saat disini akan bertemu dengan Damian, tetapi ia melupakan satu hal jika rumah sakit itu milik Damian.

Arzan kembali memfoto Damian. Lelaki itu menatap tajam ke arah Arzan. Kemudian menutup lensa kamera Arzan.

"Saya sudah bilang jangan suka foto!" geram Damian dengan menatap tajam.

"Lho, aku ini jurnalis yang pasti harus banyak mengambil foto," ledek Arzan dengan mencubit pipi Damian.

"Bukan itu! Kamu jangan suka ambil foto saya," rengek Damian dengan mengentakkan kakinya.

Arzan terkekeh kecil. Ini yang ia suka dari lelaki itu. Sifat manja lelaki itu hanya keluar saat bersama dirinya. Lelaki itu juga tidak terlalu suka marah-marah saat bersama dirinya.

Cup

Damian menatap tajam. Ia menggosok pipinya yang dikecup lelaki itu dengan bajunya.

"Jangan di gosok nanti kulit kamu merah," tegur Arzan dengan mengelus pipi lelaki itu.

"Terserah saya, dong!" seru Damian lalu meninggalkan Arzan yang tertawa puas.

"Ian! I love you!" teriak Arzan dengan melambaikan tangannya.

"I hate you!" sahut Damian dengan memberikan jari tengah yang membuat Arzan tertawa kecil.

***

Jangan lupa vote dan komen :)
I hate u atau I love u nih Damian🤣
Lanjut!

He's My Medicine (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang