Sena terkejut melihat pemandangan yang berada di depannya. Ia tidak percaya melihat sahabatnya melakukan ciuman dengan pria yang lebih muda darinya. Namun, yang membuatnya kaget ialah orang yang dicium itu seolah pria.
Lalu berlangsung lama ia cukup mengerti. Lelaki itu mungkin bisa mengobati masa lalu dari sahabatnya.
Damian terkejut melihat kedatangan dari Sena. Ia mendorong tubuh Arzan dengan pelan. Ia menundukkan wajahnya lalu mengelap bibir dan pipinya dengan wajah memerah.
"Damian gue nggak nyangka lo agresif juga," celetuk Sena dengan tertawa kecil.
Damian melotot tajam. "Lo jangan berpikiran aneh-aneh! Gue nggak kayak gitu!"
"Tapi gue liat lo seperti membimbing dia ciuman. Lalu gue nggak nyangka lo bakalan ada di pihak bawah," goda Sena dengan tertawa kecil.
Damian yang mendengar itu seketika semakin malu. Ia menundukkan wajahnya yang menyembunyikan wajah memerah.
"Wah, aku nggak nyangka Ketua mafia yang ditakuti semua orang bisa malu dengan wajah memerah," ucap Arzan yang ikut menggoda lelaki disampingnya.
"Anjing, kamu nyebelin!" geram Damian dengan menatap tajam Arzan.
Arzan dan Sena yang mendengar itu seketika tertawa. Arzan membawa Damian ke dalam pelukannya lalu mengacak pelan rambut lelaki itu.
Sena yang melihat itu hanya tersenyum tipis. Ia menatap ke arah Arzan lalu mengisyaratkan untuk bicara berdua dengannya.
"Ian kamu tunggu sebentar disini," ucap Arzan dengan mengelus pipi Damian.
Setelah itu ia keluar diiringi oleh Sena. Ia menatap ke arah Sena dengan tatapan serius.
"Ada apa?" tanya Arzan dengan muka datar.
"Jika anda serius dengan sahabat saya lakukan hal yang terbaik. Jangan buat dia sedih dan kecewa. Jika tidak saya dan Reza tidak membiarkan anda hidup dengan tenang," tekan Sena dengan muka dingin.
Arzan mengangkat alisnya. Kemudian mengangguk pelan.
"Tanpa kamu suruh saya akan melakukannya," ucap Arzan dengan tersenyum tipis.
"Bagus," sahut Sena dengan mengangguk pelan.
"Jangan lupa bilang sama Damian laporan sudah selesai. Terserah mau diperiksa sekarang atau nanti," lanjut Sena kemudian pergi meninggalkan Arzan.
Arzan kembali masuk ke dalam ruangan. Ia melihat wajah Damian yang terlihat sangat suram. Lelaki itu kenapa terlihat tidak seperti biasanya bahkan memeluk dirinya terlebih dahulu.
Arzan berjalan menghampiri Damian yang terlihat sedang murung. Ia mengelus kepala Damian dengan tersenyum tipis.
"Kamu apa lagi terkena masalah?" tanya Arzan dengan menatap mata lelaki itu.
Damian mengangguk pelan. Ia merasa malu karena sudah menangis didepan lelaki itu. Ia juga merasa malu karena terlihat lemah didepan lelaki itu.
"Reza masih marah sama saya. Asal kamu tahu anak itu banyak meletakkan mata-mata disamping saya," lirih Damian dengan menundukkan wajahnya.
Arzan tertegun pantas saja anak itu terlihat marah dengannya waktu kejadian bus. Ia juga tidak terlalu marah kepada remaja itu karena terlihat sekali dia mengkhawatirkan sang ayahnya.
"Sudah kamu tenang saja nanti aku akan coba bicara sama anak itu," ucap Arzan yang mencoba menenangkan remaja itu.
Damian mengangkat wajahnya. "Benarkah? Apa tidak takut Reza jika pukul kamu?"
"Tidak, aku mau meluruskan masalah ini. Jika itu bukan salah kamu tapi aku," ucap Arzan dengan tersenyum tipis.
Damian menatap orang didepannya dengan ragu. Akhirnya ia mengangguk pelan lagipula tidak ada yang salah.
Arzan tersenyum. Lalu mengacak rambut lelaki itu. "Tadi sahabat kamu bilang kalau laporan sudah selesai. Terserah mau diperiksa sekarang atau nanti."
Damian mengangguk pelan. Akhirnya mereka kembali menjadi diam. Ia terlihat agak canggung tidak seperti biasanya.
"Ehm, kenapa kamu masih ada disini? Memangnya kamu tidak kerja," tanya Damian dengan ragu-ragu.
"Oh, jadi aku diusir, nih?" gurau Arzan dengan mengangkat alisnya.
"Ya ... tidak begitu ..."
"Bercanda, aku pergi dulu. Nanti chat aku kalau sudah selesai kerja," pamit Arzan dengan mengacak rambut Damian.
"Kita ... belum tukar nomor ponsel," ucap Damian dengan ragu.
Arzan mengangguk lalu memberikan ponselnya. Damian menyambut lalu menyimpan nomor ponselnya. Ia juga menyimpan nomor ponsel lelaki itu.
"Sudah bukan? Aku pergi dulu," ucap Arzan dengan meninggalkan ruangan.
***
Sekarang sudah menunjukkan pukul 5 sore. Ia menatap ponselnya dengan ragu-ragu. Di layar ponsel tertulis Arzan dengan stiker kamera disampingnya.
Damian mengambil bunga mawar yang ada di dalam vas. Ia mulai menarik kelopak itu dengan bergumam kecil.
"Telepon, enggak, telepon, enggak, telepon," gumam Damian dengan wajah serius.
Damian terdiam. Ia menatap layar ponselnya lalu menelepon nomor itu. Setelah itu ia langsung mematikan panggilan telepon.
"Ih, Damian kamu udah kayak anak muda yang jatuh cinta aja," gerutu Damian dengan menatap layar ponselnya.
Akhirnya setelah cukup lama. Arzan datang dengan membawa kamera miliknya. Ia merasa aneh saat melihat kamera teringat pertemuan awal mereka.
"Ayo pergi!" ajak Arzan dengan menggenggam tangan lelaki itu.
Setelah itu mereka melesat pergi menuju rumah utama keluarga Bachtiar. Di perjalanan ia hanya diam sembari menatap jalan.
Akhirnya saat sampai didepan rumahnya. Ia menjadi gugup sendiri padahal yang orang dewasa itu dirinya justru Reza tampak menakutkan.
Damian terkesiap saat tangannya kembali di genggam dengan lembut. Namun, yang lebih mengejutkan keningnya dikecup oleh lelaki itu.
"Jangan takut aku pastikan Reza tidak marah kamu," ucap Arzan dengan mengelus wajahnya.
Mereka berdua masuk sudah dikejutkan tatapan laser dari Reza. Damian hanya bisa mengelus dadanya melihat tingkah sang anak.
"Arzan anda ingin bicara sama saya bukan? Sekarang juga cepat jelaskan karena habis ini saya mau kembali ke sekolah rapat osis," ucap Reza dengan muka datar.
"Ketua anda masuk sekarang atau saya marah," lanjut Reza yang penuh penekanan.
Damian hanya bisa menatap sinis sang anak. Ia benar-benar diperlakukan seperti anak kecil. Ia sedikit heran yang seorang ayah disini itu dirinya bukan Reza.
"Serah," sahut Damian lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
"Bukankah saya sudah memperingati untuk jangan mendekati Ketua," desis Reza dengan muka dingin.
"Saya heran sama kamu. Bukankah kamu terlalu posesif sama Ayah kamu sendiri. Dia sudah dewasa Reza dan berhak menentukan pilihan sendiri," ucap Arzan dengan tersenyum tipis.
"Kalau saya menyukai Damian bagaimana?" celetuk Reza dengan menyeringai.
Arzan yang mendengar itu sontak tersedak ludahnya sendiri. Reza hanya tertawa kecil.
"Saya tidak mungkin mencintai orang tua sendiri. Lagipula saya punya orang yang buat penasaran," cicit Reza dengan mengalihkan pandangannya.
Arzan hanya tersenyum tipis. "Lalu karena kamu tidak ingin dia sedih. Saya pastikan tidak membuat dia bersedih. Kamu jangan marah sama dia karena yang salah disini adalah saya. Saya ingin menjadikan dia sebagai suami."
Reza menatap sinis. Setelah itu pergi meninggalkan pekarangan rumah tanpa mengatakan apapun.
"Memang keluarga tsundere," ucap Arzan dengan menggelengkan kepalanya.
***
Jangan lupa vote dan komen :)
Tsundere Reza tuh Damian juga😆
Hampir lupa update 😬
Lanjut!
KAMU SEDANG MEMBACA
He's My Medicine (END)
RomanceCerita tentang orang tua Reza (Eternal Love Of Dream) Damian Bachtiar sosok yang dikenal sebagai mafia kejam. Namun, sifat kejam nya juga punya alasan tertentu baginya terutama untuk putranya. Pertemuan singkat dengan seorang jurnalis muda membuat...