42

5.1K 710 54
                                    

Damian turut dari panggung aula. Ia menatap sekeliling dengan tersenyum tipis. Ia rasanya ingin mengulang masa remaja.

Waktu SMA yang hanya bisa dilakukannya adalah latihan fisik dan senjata. Ia tidak bisa meluangkan waktunya untuk bergaul bersama teman yang lain. Ia hanya punya Sena sebagai sahabatnya.

Damian terbangun dari melamun. Ia menatap ke arah Arzan yang berjalan dengan menarik tangannya. Ia merasa jantungnya terus berdetak dengan kencang bahkan wajahnya merasa sedikit panas.

"Mau kemana?" tanya Damian dengan berjalan menyamakan langkah kaki lelaki itu.

Arzan hanya diam tanpa menjawab satu kata pun. Mereka terus berjalan hingga berada di gerbang belakang. Suasana gerbang belakang cukup sepi.

Damian sedikit heran, tetapi ia hanya duduk diam di bangku. Ia menunggu lelaki itu untuk bicara.

"Apa anak kamu masih marah?" celetuk Arzan dengan berdiri didepan Damian.

Damian hanya menggelengkan kepalanya. Anaknya sudah tidak marah melainkan sedang jatuh cinta dengan seseorang yang ia lupakan.

Namun, tidak lama ia dikejutkan Arzan. Lelaki itu berjongkok didepannya dengan menggenggam kedua tangannya. Ia ingin menarik tangannya, tetapi ditahan oleh lelaki itu.

"Kamu mau ngapain?" tanya Damian dengan ragu-ragu. Lelaki itu tidak tahu saja jika dirinya sedang menahan rasa malu.

"Kamu tau bukan jika aku cinta sama kamu. Aku nggak akan beri janji kayak yang lain. Jadi do you want to be my boyfriend?" ucap Arzan dengan tersenyum tipis. Tangan satunya mulai mengelus pipi pria itu.

Damian terkesiap. Ia mengalihkan pandangannya dengan wajah memerah. Ia merasa ragu dengan apa yang dinyatakan lelaki itu.

"Itu ... aku nggak tau," ucap Damian dengan menatap mata Arzan.

Cup

Damian tertegun. Wajahnya semakin memerah bahkan ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya. Ia hanya menundukkan wajahnya.

"Jadi gimana?" tanya Arzan dengan tertawa kecil.

Damian mengangguk pelan. Ia tidak bisa lagi menahan perasaannya sendiri ini sudah diluar logika.

"Kamu bilang apa?!" seru Arzan yang sengaja menggoda lelaki didepannya.

“You be quiet you want to die do you?” desis Damian dengan menatap tajam.

Arzan hanya tertawa kecil. Ia membawa Damian ke dalam pelukannya. Ia sangat bahagia saat perjuangan yang dilakukannya tidak sia-sia.

"Tapi jarak usia kita cukup jauh. Apa kamu udah yakin dengan hal itu?" lirih Damian dengan menyembunyikan wajahnya di dada bidang lelaki itu.

Arzan hanya tersenyum tipis dengan mengelus rambut Damian. "Aku nggak peduli dengan itu karena yang ku cintai itu cuman kamu."

Damian menarik tubuh Arzan hingga terduduk di atas bangku. Namun, yang cukup mengejutkan Damian mulai duduk di pangkuan lelaki itu.

Damian mengalungkan tangannya di leher lelaki itu. Arzan yang melihat itu seketika menyeringai.

"Kamu binal juga," ejek Arzan dengan tertawa kecil.

Damian hanya tertawa kecil. Ia mulai mencium bibir lelaki itu dengan penuh tekanan. Ciuman panas mereka terus berlanjut hingga cukup lama.

"I love you," ucap Arzan.

"Te amo," sahut Damian dengan tersenyum manis.

***

Damian berjalan dengan membantu Arzan membawa sebuah koper. Arzan yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya.

Damian itu sangat labil untuk diusia yang menginjak kepala tiga. Arzan hanya mengiyakan saja saat Damian memintanya tinggal di rumah keluarga Bachtiar kembali.

Sekarang siang dan anaknya masih berada di sekolah. Setelah acara sosialisasi di sekolah ia meminta Sena untuk menjaga rumah sakit.

Damian membawa sang kekasih ke dalam kamarnya. Ia hanya menyeringai bisa dibilang ingin melihat reaksi lelaki itu.

"Arza kita tidur satu kamar, ya?" celetuk Damian dengan tersenyum manis.

Arzan mengerutkan keningnya. Namun, tidak lama ia tersenyum dengan mendorong koper ke dalam kamar lelaki itu.

"Loh, kenapa masuk kamar aku?!" seru Damian dengan menarik tangan Arzan.

"Katanya kamu mau satu kamar. Aku cuman ngikutin permintaan kamu aja," sahut Arzan dengan tersenyum lebar.

Damian yang mendengar itu sontak kelabakan sendiri. Ia mendorong tubuh lelaki itu, tetapi Arzan tetap bergeming.

Damian memekik tertahan. Tubuhnya seketika melayang ke atas sehingga membuatnya mengalungkan tangan di leher Arzan.

"Kamu mau ngapain?" bisik Damian lalu menjilat leher sang kekasih.

Arzan terkesiap. Saat Arzan lengah Damian segera berlari dengan membawa handuk yang sejak kapan sudah ada ditangannya.

"Sial!" maki Arzan dengan memegang lehernya.

Kemudian tidak lama Damian keluar dengan rambut basah. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk yang satunya.

Damian berjalan mendekati Arzan dengan tersenyum manis. Arzan tertegun dengan apa yang dilihatnya sekarang. Damian terlihat sangat manis dengan lesung pipi dan mata tajamnya disaat bersamaan.

"Arza ... bantu bikin rambut aku jadi kering, dong!" ucap Damian dengan berjongkok. Namun, dagunya diletakkan diatas paha Arzan.

Arzan yang mendengarkan itu segera mengangguk. Ia mana tahan melihat tingkah manja dari sang kekasih, sebut saja dirinya itu terlalu bucin.

Akhirnya mereka terus melanjutkan kegiatan didalam kamar. Damian bahkan tidak memperdulikan sang anak sudah pulang atau belum. Namun, untuk sekarang ia tidak ingin sang anak mengetahui keberadaan Arzan.

***

Sebuah tangan mulai meraba di atas meja. Ia menatap layar ponsel yang menunjukkan pukul 3 pagi. Ia merasa perutnya berbunyi terus-menerus karena malam tadi dirinya tidak makan apapun.

Damian tersenyum tipis melihat wajah tenang dari Arzan. Ia ingin rasanya mentertawakan dirinya. Dulu saja dirinya selalu terlihat ingin menyingkirkan keberadaan lelaki itu. Sekarang dirinya terlihat mencintai pria yang 10 tahun lebih muda darinya.

Damian melepaskan pelukan tangan lelaki itu perlahan dari tubuhnya. Setelah itu ia berjalan keluar dari kamar dengan perlahan agar tidak membangunkan lelaki itu.

Ia berjalan menuju dapur dengan mata mengantuk. Saat di dapur ia hanya menatap beberapa peralatan. Ia membuka kulkas hanya menemukan bahan makanan. Ia tidak tahu harus berbuat seperti apa.

Namun, sebuah pelukan di tangan membuatnya terkesiap. Ia membalikkan tubuh sehingga terlihat Arzan yang sangat dekat dengan wajahnya.

"Kamu kenapa bangun? Seharusnya lanjut tidur aja," ucap Damian dengan tersenyum tipis.

"Aku nggak bisa tidur tanpa kamu. Lalu kamu ngapain ke dapur?" sahut Arzan dengan mengangkat alisnya.

"Lapar," jawab Damian dengan mengelus perutnya.

Arzan mengacak rambutnya dengan pelan. Kemudian lelaki itu mulai memasak makanan. Damian hanya menunggu dengan menelungkup dagunya diatas kedua lipat tangannya.

"Kamu itu udah cocok jadi babu," celetuk Damian dengan cengengesan.

Arzan hanya memutar matanya. Ia menyajikan makanan lalu mulai melanjutkan acara makan dengan tenang.

Damian makan dengan lahap hingga selesai. Setelah itu Arzan kembali membereskan tempat makan dan meja makan.

Arzan hanya menggelengkan kepalanya. Damian terlihat seperti kucing yang habis makan langsung jinak.

Arzan mendekati Damian. Ia menyeringai. "Jadi ... apa hadiah yang kamu berikan?"

"Huh?" ucap Damian dengan mengerutkan keningnya.

Cup

***

Jangan lupa vote dan komen :)
Adegan apa selanjutnya 🤭
Lanjut!

He's My Medicine (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang