Arzan menatap ke arah Damian yang terlihat bekerja di pagi buta. Ia menghela napas dengan menatap kamera miliknya.
Ia tersenyum tipis melihat beberapa foto lelaki itu. Ia selama ini terus memfoto lelaki itu walaupun terkena marah. Ini merupakan kenangan mereka jadi harus disimpan dengan baik.
"Ian apa kamu masih sibuk?" tanya Arzan dengan menatap lelaki di depannya.
Arzan tersenyum tipis. Ia menahan gemas melihat lelaki itu menggunakan kacamata. Lelaki itu semakin imut jika menggunakan kacamata.
"Iya, saya masih sibuk mengerjakan laporan," ucap Damian dengan menatap layar laptopnya.
Damian membolehkan lelaki itu memanggil namanya dengan sebutan lain. Ia hanya terlalu malas berdebat dengan lelaki itu.
"Ian bukannya kamu itu pemilik rumah sakit. Mengapa tidak meminta mereka mengurus masalah laporan?" saran Arzan dengan mengangkat alisnya.
Damian berdecak kagum. "Hey, kamu ternyata licik juga. Saya ini direktur utama rumah sakit Birendra. Hal pasti harus menjadi orang yang lebih baik."
"Tapi ... saran kamu bagus juga!" lanjut Damian dengan cengengesan.
Damian segera mengambil jaket dan memasang celana panjang. Arzan yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Ayo kita pergi!" seru Damian dengan tersenyum lebar sembari menggenggam tangan Arzan.
Arzan mengangguk pelan. Ia mengambil ponsel lalu berjalan pergi tidak lupa mengunci pintu kamar.
Di perjalanan mereka hanya diam. Damian menatap jalanan dengan tersenyum lebar. Suara burung dan hembusan angin terus saja terdengar jelas.
Damian mengelus lengannya saat angin mengenai tubuhnya. Namun, sebuah tangan mulai menggenggam tangannya. Sebuah kehangatan mulai menghampirinya.
"Sabar, ya. Hari ini suhu udara memang agak dingin tidak seperti biasanya," ucap Arzan mengelus pipi Damian dengan tangan yang satunya.
Damian hanya mengangguk. Kemudian mereka terus naik ke puncak hingga sampai di sebuah pondok kecil.
Mereka segera duduk dengan menatap pemandangan. Sekarang tidak ada yang memulai pembicaraan untuk pertama kalinya.
"Darimana kamu tahu tempat ini?" tanya Damian menatap Arzan dengan tersenyum tipis.
Arzan hanya tersenyum tipis. "Aku tahu saat mendengar pembicaraan teman kerja."
Damian hanya menatapnya dengan memberikan senyum mengejek. Ia mulai mengelus kedua tangannya.
"Dih, kamu tidak punya modal sama sekali," cibir Damian dengan memutar matanya.
Arzan yang mendengar itu sontak mengangkat alisnya. Kemudian terkekeh kecil setelah mengetahui hal ini.
"Heh, ternyata kamu ingin aku cari tahu sendiri tempat yang lain agar terlihat romantis begitu? Aku tidak menyangka kamu berpikir begitu," goda Arzan dengan tertawa mengejek.
Damian yang mendengar itu sontak menundukkan kepalanya. Namun, tidak tahu saja wajahnya sudah memerah.
"Ian ... apa kamu lagi sakit?" tanya Arzan dengan memegang kedua pipi lelaki itu.
"Tidak ..."
"Ah, aku tahu! Pasti kamu merasa malu bukan?" goda Arzan dengan mengelus pipi Damian.
"Tidak ... saya hanya sedang kedinginan," sanggah Damian yang tidak sadar wajahnya semakin memerah.
"Oh, sedang kedinginan, ya?" ledek Arzan dengan tertawa kecil.
Damian segera menatap tajam. Kemudian memukul kepala lelaki itu. Arzan sangat suka membuatnya marah sepertinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's My Medicine (END)
RomanceCerita tentang orang tua Reza (Eternal Love Of Dream) Damian Bachtiar sosok yang dikenal sebagai mafia kejam. Namun, sifat kejam nya juga punya alasan tertentu baginya terutama untuk putranya. Pertemuan singkat dengan seorang jurnalis muda membuat...