44

5K 686 48
                                    

Damian mulai mengangkat panggilan telepon dari ponsel kekasihnya. Ia membiarkan bos dari Arzan berbicara terlebih dahulu.

"Arzan! Kenapa kamu menutup panggilan telepon saya?! Kamu mau saya pecat?!"

"Halo, apa sekarang kamu sudah tidak bisa lagi bicara?!"

"Bukankah saya sudah memberi waktu cukup lama untuk kamu menjalankan tugas."

Damian yang mendengar itu seketika menjadi penasaran. Tugas yang dimaksud itu apa. Bagaimana mungkin Arzan menunda tugas.

"Bagaimana kabar tentang Direktur utama rumah sakit Birendra?"

"Apa dia menyadari jika kamu saya perintahkan untuk mencari tahu rahasia kematian istrinya?"

Damian yang mendengar itu sontak tertegun. Ia menatap layar ponsel lelaki itu dengan tatapan kosong.

"Arzan! Jangan buat saya marah dan pecat kamu! Cepat bilang bagaimana sudah informasinya?!"

Damian mencengkeram erat ponsel lelaki itu. Lalu berbicara dengan suara dalam.

"Anda tidak bisa mencari tahu rahasia saya," tekan Damian. Kemudian mematikan panggilan telepon. Ia bahkan melempar ponsel itu ke atas kasur.

Damian duduk di pojok kasur. Ia membungkuk tubuhnya dengan menelungkup wajahnya. Seluruh tubuhnya gemetaran saking menahan rasa marah.

"Ian ayo makan! Buburnya udah jadi," ucap Arzan dengan membawa mangkuk berisi.

Damian hanya bergeming. Ia masih menelungkup wajahnya dengan mengepalkan tangan.

Arzan yang melihat itu seketika menjadi bingung. Ia berjalan dengan meletakkan mangkuk di atas meja.

Arzan duduk di samping Damian dengan mengelus rambut lelaki itu. Namun, Damian justru menepis tangannya dengan mengangkat wajahnya. Kemudian yang didapatkan oleh Arzan justru tatapan tajam dari sang kekasih.

"Kamu kenapa?" tanya Arzan dengan mengerutkan keningnya.

Damian tertawa mengejek. "Kenapa kamu bilang? Apa kamu nggak ada ngerasa bersalah sedikitpun?!"

Arzan yang mendengar itu sontak terkejut. Masalahnya baru saja mereka jadian, tetapi Damian menatapnya dengan penuh kebencian.

"Maksud kamu? Ian jika kamu ada masalah selesaikan dengan kepala dingin," ucap Arzan dengan memegang pipi Damian. Namun, lagi-lagi tangannya ditepis cukup kuat.

Damian menatap Arzan dengan penuh marah dan kecewa. Ia merasa perasaannya seolah di permainkan oleh lelaki itu. Ia tidak pernah terbuka dan jatuh cinta kepada orang lain. Namun, sekali jatuh cinta orang itu justru hanya ingin mengetahui rahasianya.

"Aku nggak pernah merasa jatuh sedalam ini," batin Damian.

Damian tertawa mengejek. Ia meratapi nasibnya yang sungguh menyedihkan.

"Kamu ingin cari tau rahasia kematian mantan istri aku jangan begini caranya! Apa kamu tau itu sungguh membuat aku nggak percaya kamu lagi?!" sergah Damian dengan mendorong tubuh Arzan.

Arzan yang mendengar itu sontak terkejut. Ia mengalihkan pandangannya ke arah atas kasur. Kemudian melihat ada sebuah ponsel di samping lelaki itu.

Arzan sudah paham sepertinya atasan dirinya melakukan panggilan telepon. Ia memegang tangan Damian, tetapi lagipula ditepis lelaki itu.

"Ian dengerin penjelasan aku ..."

Damian berdiri lalu mendorong tubuh lelaki itu. Ia tidak peduli dengan perkataan lelaki itu. Ia mengambil koper lelaki itu lalu kembali mendorong keluar.

He's My Medicine (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang