45

5.1K 720 61
                                    

Semenjak kejadian pertengkaran hari itu. Damian selalu mengurung dirinya didalam kamar bahkan untuk makan sekalipun.

Beberapa hari ini Damian juga selalu menghindari lelaki itu. Sekeras apapun Arzan berjuang untuk bertemu dengannya ia selalu menghindar. Lalu beberapa kali ia juga meminta para satpam mengusir lelaki itu dari rumah sakitnya.

Damian tersadar dari melamun. Ia mendengar suara ribut dari luar. Ia segera berlari menuju gerbang.

Namun, yang ia dapatkan anak buahnya sudah tepar begitu saja. Ia melihat Arzan yang masih terlihat baik-baik saja.

Namun, yang membuatnya terkejut lelaki itu masih terlihat baik-baik saja. Lalu anak buahnya banyak yang terluka dan itu terlihat agak aneh.

Damian berjalan mundur saat lelaki itu berjalan maju ke depannya. Namun, pada akhirnya lelaki itu bisa memeluk tubuhnya dengan erat.

"Dengerin penjelasan aku dulu," lirih Arzan.

Damian tertegun. Ia merasa sebuah cairan mengenai tubuhnya. Badan lelaki itu juga terlihat gemetaran.

Damian melepaskan pelukan mereka. Ia mengelus pipi lelaki itu tanpa sadar dengan tertawa sendu.

Bugh!

Damian terkejut. Ia melihat lelaki didepannya sudah tersungkur dengan bibirnya yang berdarah.

Bugh!

Bugh!

Damian terkesiap. Ia melihat sang anak memukuli lelaki itu dengan brutal. Ia segera menarik tubuh sang anak. Ia juga memeluk sang anak dengan air mata yang mengalir deras.

Reza yang melihat itu segera menepis tangan sang ayah. Ia sudah muak melihat drama yang mereka mainkan.

"Sekarang drama apa lagi yang kalian mainkan?! Dasar para orang tua bodoh!" sergah Reza dengan menatap tajam keduanya. Setelah itu segera meninggalkan keduanya dengan amarah yang tertahan.

Sekarang hanya tersisa keheningan. Ia menatap sosok pria yang lebih muda darinya. Ia meninggal lelaki itu tanpa berbicara apapun.

Arzan yang melihat itu hanya tersenyum sendu. Ia tahu perbuatannya dulu memang kesalahan besar, tetapi rasa cintanya itu bukan sebuah permainan.

Arzan berjalan perlahan dengan tersenyum sendu. Namun, sebuah tangan menghentikan langkahnya.

"Obatin luka kamu dulu. Aku nggak mau para tetangga mikir macam-macam," ucap Damian dengan muka datar.

Arzan yang melihat itu seketika tersenyum tipis. Ia mengetahui lelaki itu masih peduli kepadanya.

Arzan menatap kearah sang kekasih. Ia terlihat sangat menakjubkan saat melakukan apapun.

"Ian ... aku mau jelasin ..."

"Nggak ada yang perlu di jelasin," ucap Damian dengan tersenyum sendu.

Arzan menghela nafas gusar. Ia mengangguk pelan karena mungkin sang kekasih memerlukan waktu untuk menenangkan dirinya.

Arzan memeluk tubuh Damian dengan erat. Lalu mengecup kening Damian dengan lembut.

"Sekarang aku nggak akan ganggu kamu lagi. Tapi yang pasti cintaku itu nggak main-main," ucap Arzan dengan tersenyum tulus. Setelah itu meninggalkan sebuah keheningan.

Damian menatap Arzan dari kejauhan bergumam, "Aku kecewa sama kamu."

***

Hari itu merupakan pertemuan terakhir mereka berdua. Damian yang sibuk dengan urusan rumah sakit dan Arzan sibuk dengan kasus berita.

Keduanya terlihat baik-baik saja. Namun, tidak ada yang tahu hati keduanya terlihat kosong. Keduanya menjalani hidup yang hampa.

Padahal ini baru satu hari mereka tidak bertemu. Namun, rasanya seolah sudah berapa abad lamanya tidak bertemu.

Sebuah salah paham membuat keduanya menjaga jarak. Damian sebenarnya tahu jika Arzan menatapnya dari kejauhan. Ia tidak melihat tapi bisa merasakan keberadaan lelaki itu.

Damian menatap dari layar kamera. Arzan terlihat menerima panggilan telepon. Lelaki itu terlihat buru-buru pergi bahkan sampai di tegur pemilik Cafe karena hampir kelupaan bayar. Damian yang melihat itu sontak tertawa kecil.

"Damian ada apa?" tanya Sena dengan mengerutkan keningnya.

"Ah, itu nggak papa," dalih Damian dengan tersenyum tipis.

Setelah itu mereka kembali bekerja. Damian membantu yang lain untuk memeriksa kondisi pasien. Sekarang ia membantu memeriksa seorang wanita tua.

Ia membantu wanita tua itu berjalan ke taman. Ia tersenyum tipis karena wanita tua itu mengingatkan dirinya kepada sang mamah.

"Kamu terlihat bahagia, tetapi hatimu sangat hampa."

Damian yang mendengar itu sontak terkejut. Ia terlihat agak canggung karena wanita tua itu mengetahui hal ini.

"Saya ini dulu dokter psikolog. Saya sering melihat anak muda yang bermasalah seperti kamu terutama karena cinta."

Damian tertegun. Ia mengerti darimana wanita tua itu mengetahui hal ini bahkan sahabatnya sendiri tidak mengetahuinya.

"Kamu terlihat kesepian dan berusaha untuk kuat. Kamu selalu memperdulikan orang lain, tetapi tidak dengan dirimu sendiri. Jika ingin membuat orang lain bahagia maka harus membahagiakan diri sendiri."

Damian menundukkan kepalanya. Selama ini ia selalu ingin membuat kedua orang tuanya dan sang anak bahagia. Namun, ia tidak pernah memperdulikan dirinya sendiri.

"Semua masalah tidak harus dibawa lari karena sampai kapanpun itu tidak akan pernah selesai. Sebuah kesalahpahaman bisa membuat hubungan menjadi renggang. Kamu harus melakukan pembicaraan secara empat mata agar tahu kebenarannya. Kesalahpahaman tidak bisa dibiarkan secara berlama-lama."

Damian yang mendengar itu sontak merasa tertohok. Ia sudah membiarkan kedua kesalahpahaman secara langsung.

"Saya tidak ingin anak saya sedih karena tahu kebenaran itu," lirih Damian dengan menundukkan wajahnya.

"Baiklah, tapi semua itu harus dibicarakan sesegera mungkin. Hal itu mungkin saja membuat anakmu tambah sedih saat mengetahui kebenarannya."

"Lalu ini bukan hanya karena masalah anak bukan?"

Damian lagi-lagi tertegun. Ia hanya bisa mengangguk kepala dengan pelan.

"Saya punya seorang kekasih pria. Saya hanya takut anak saya jadi hujatan masyarakat karena orientasi ini. Kekasih saya menyembunyikan fakta yang membuat saya kecewa. Dia selalu ingin menjelaskan semuanya, tetapi saya menolak karena itu memang sebuah fakta jika dia ingin mengetahui rahasia saya," lirih Damian dengan menggigit bibirnya. Ia sedang menahan tangisan. Ia tidak ingin membebani siapapun.

"Semua orang tidak ingin memiliki perasaan yang beda seperti orang lain. Saya sarankan jangan memperdulikan perkataan orang lain karena yang menjalani kehidupan ini diri sendiri. Lalu sepertinya kamu harus mendengarkan penjelasan pacar kamu karena sebuah masalah tidak boleh terus berlanjut."

Damian menundukkan wajahnya. Kali ini ia tidak bisa lagi menahan tangisan. Ia merasa wanita tua itu membuatnya menjadi lebih tenang. Ia tidak pernah setenang ini selain bersama Arzan sang kekasih.

"Makasih, Bu. Saya sangat berterima kasih dengan pengertian anda," ucap Damian dengan mengelap air matanya.

Wanita tua itu membawa tubuhnya ke dalam pelukan. Ia tertegun karena merasakan kehangatan sebuah ibu.

"Jika kamu punya masalah bisa datang kepada ibu. Ibu akan selalu siap mendengarkan cerita kamu."

"Makasih, Bu," ucap Damian dengan tersenyum tulus.

Damian benar-benar bersyukur bisa bertemu wanita yang dianggap seperti ibu. Beliau sangat pengertian dan membuka pikirannya.

"Iya, kamu ibu anggap seperti anak ibu."

Damian tersenyum. "Iya, Bu."

***

Jangan lupa vote dan komen :)
Wih, ibunya baik sekali😆🥰
Lanjut!

He's My Medicine (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang