Tujuh Belas

842 58 3
                                    

Eric menuruni tangga kemudian melangkah ke arah meja makan dengan santai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Eric menuruni tangga kemudian melangkah ke arah meja makan dengan santai. Satu minggu sudah berlalu sejak laki-laki itu duduk di bangku SMA. Keira yang sedang duduk di kursi meja makan mulai mengamati Eric yang kini juga duduk di depannya sembari bermain ponsel tanpa berkedip. Dan ketika Eric meliriknya, Keira langsung memalingkan wajah.

Sekarang Eric yang balas mengamati Keira dari atas sampai bawah. "Mau ke mana?" tanyanya tanpa disadari.

Keira mendongak, membuat kedua mata mereka saling bertemu. Spontan, Eric langsung menaikkan salah satu alisnya ke atas.

"Mau ke makam Papa dan Mama," jawab Keira pelan. Eric mengangguk satu kali. Kemudian lanjut makan.

Keira terdiam. "Aku pergi bersama Pak Ito," ucap Keira berusaha memancing Eric berbicara lagi kepadanya. Biasanya, ketika dia pergi ke makam orangtuanya, akan selalu ada Eric yang menemaninya. Tanpa ditawari pun, laki-laki itu akan menawarkan dirinya sendiri untuk ikut bersamanya. "Kamu ... ikut?" Suara Keira memelan, terdengar ragu, tapi di waktu yang sama juga penuh harap.

Sekilas, Eric menatap Keira. Lalu kepalanya menggeleng singkat. Keira langsung menundukkan wajah dan mengerjapkan kedua mata dengan bingung. "Kamu sibuk?" tanya Keira lagi, ketika Eric lagi-lagi hanya mendiamkannya.

Eric menjawab Keira dengan gelengan kepala lagi. "Aku mau pergi sama temen-temen aku nanti jam dua."

Keira langsung mengangguk mengerti. Meski raut sedih belum hilang di wajahnya, gadis itu tetap menberikan senyum tipis. "Have fun," ucapnya pelan yang langsung membuat Eric mendongak dan menatapnya. Laki-laki itu mengamati Keira yang kini sibuk menghabiskan makanannya dengan kepala tertunduk. Satu menit, kedua matanya masih setia memandang gadis itu. Pelan-pelan, suara embusan napas beratnya terdengar panjang.

...

Begitu keluar dari mobil, Keira langsung melangkah ke area pemakaman orangtuanya. Saat itu, terik matahari langsung menyapa wajah Keira. Untungnya, gazebo yang dibangun di depan dua undukan tersebut langsung menyelamatkan wajahnya dari sinar matahari. Dengan satu plastik berisikan bunga yang berada di dalam pelukannya, Keira mendekat ke dua makam tersebut.

Secara perlahan, Keira menaburi makam orangtuanya dengan bunga melati yang dibelinya tadi. Sudah berapa lama dia tidak mendatangi makam kedua orangtuanya? Terakhir kali, sepertinya enam bulan yang lalu, ketika dia ulang tahun. Belum mengeluarkan satu kata pun, air mata tiba-tiba mengalir di wajahnya. Tangannya bergerak, meratakan bunga-bunga yang tidak tersebar dengan rata itu dengan perlahan. Lalu Keira tersenyum tipis. "Pa, Ma, aku sudah SMA sekarang."

"Aku sendiri gak pernah pikir kalau aku bisa bertahan selama ini tanpa kalian."

"Mama dan Papa gak perlu khawatir. Kalian juga bisa melihatnya kan? Kalau Om Ferdi dan Tante Maria selalu menjaga aku dengan sangat baik." Keira terdiam, tidak lagi mengucapkan apa-apa untuk sementara. Matanya hanya terus menatap dua undukan tertutup rumput tersebut dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Air mata jelas sudah menggenang di matanya. Beberapa detik kemudian, air mata itu tumpah, mengaliri sudut pipi Keira dan akhirnya jatuh ke tanah. Tapi gadis itu masih tetap terdiam di tempat sembari menatap dua undukan itu dengan diam.

The Day We Love Each OtherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang