The Day We Said Forever

751 17 1
                                    

Just a what if.

...

Sore itu, seorang pemuda dengan wajah gugupnya tengah melangkah di tengah koridor sekolah. Kedua tangannya tersimpan erat di dalam kantong celana, menyembunyikan sebuah fakta bahwa sedari tadi, dia tidak sanggup menghentikannya untuk tidak bergerak.

Berkali-kali, dia menghirup napasnya dalam-dalam, berusaha memberikan kata-kata motivasi pada dirinya sendiri.

Kali ini, hatinya sudah sangat teguh. Dia sudah memantapkannya berkali-kali. Terima kasih kepada teman-temannya yang sudah membantunya untuk sadar terhadap perasaannya sendiri, terlebih lagi terhadap apa yang dia inginkan. Maka dengan itu, sekarang dengan wajah kaku, pemuda itu melangkah menuju kelas seorang gadis yang sudah, selalu mengisi bagian terdalam hatinya sejak kecil.

Dan ketika langkahnya sudah tiba tepat di depan kelas gadis itu, pemuda itu menghirup napas dalam-dalam untuk kali terakhir. Dia sengaja tidak langsung masuk ke dalam, melainkan menyandarkan punggungnya di samping pintu kelas yang terbuka.

Karena pintu kelas yang terbuka, dia bisa mendengar dengan jelas suara gadis itu. Jantungnya semakin berdegup kencang, tapi dia tidak bisa menyangkal bahwa sebuah senyum terpatri di wajahnya hanya ketika mendengar suara tawa gadis tersebut.

Dia hanya terlalu memahaminya, sangat mengetahui apa yang akan dilakukan oleh gadis itu saat tertawa. Kedua matanya biasanya akan berubah menjadi bulan sabit, dengan pipi yang merona memerah. Lalu setelahnya, gadis itu akan mengangkat tangannya untuk menutup mulutnya, sambil sesekali secara tidak sadar akan memberikan pukulan kecil terhadap lawan bicaranya.

Hanya dengan memikirkan itu saja, pemuda itu menundukkan wajahnya, lalu menggelengkan kepala kecil, tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut tersenyum saat mendengar suara lembut tawa gadis pujaannya itu.

Saat akhirnya tidak lagi mendengar suara apapun dari dalam, dengan berani, dia mulai melihat ke dalam, dan terlihat sepasang siswi sedang bercengkerama sembari mengerjakan tugas piket.

"Lo katanya mau pulang jam 4? Katanya mau ada acara keluarga?" Dia mendengar suara gadis pujaannya mengudara.

"Ah tapi gue sungkan harus ninggalin lo sendirian di sini sore-sore."

"Gak papa, gue nggak sendirian, ada Eric."

Sebuah perasaan bangga langsung melambung dalam diri pemuda itu saat mendengar namanya disebut.

"Iya, tapi dia nggak ada di sini."

Dan di saat itu lah, Eric tahu kapan dia harus menunjukkan keberadaannya di depan dua gadis tersebut. "Tenang, gue sekarang ada di sini."

Kedua gadis itu terlihat terkejut ketika mendengar sebuah suara mengudara dari pintu kelas. Dengan kompak, mereka langsung menoleh ke arah suara. Tapi kedua mata Eric hanya tertuju pada satu gadis yang sedang memegang gagang sapu dalam pelukannya. Satu alisnya terangkat saat melihat wajah gadis itu merona, dengan kedua mata yang sudah bulat kini terlihat semakin besar di wajahnya.

"Kenapa kaget sekali?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya kecil. Dia menoleh ke temannya yang kini memandang mereka berdua, dan kemudian tersemat sebuah senyum kecil di wajahnya. Semua orang di dunia ini, kecuali mereka tentu saja, mengetahui kalau mereka saling menyukai.

"Okey, deh, gue pergi dulu kalau gitu. Makasih yaa, Kei. Hati-hati kalian," ucap gadis itu sembari berjalan menuju tasnya, kemudian meringkasi barangnya dan akhirnya keluar dari kelas tersebut.

Kini hanya tertinggal Eric dan Keira saja di dalam kelas itu. Eric yang masih berdiri di depan pintu, dengan satu tangan yang dia jadikan sebagai tumpuan badannya, dan Keira yang kini melihat ke lantai dengan wajah yang sudah lebih rileks dari sebelumnya.

The Day We Love Each OtherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang