Part I

4.4K 352 5
                                    


Bima

Bima memandang Nana untuk kesekian kalinya hari ini, dari kursi panjang di teras samping dekat kebun. Menunggu Nana teralih pikiran dan perhatiannya dari ayah Bima, pak Ilyasa.

Untuk sesaat tanpa sadar Bima tertawa singkat, Menertawakan pikiran tololnya, cemburu pada ayahnya sendiri karena hampir sepanjang hari ini Nana sibuk mengikuti ayahnya berkebun Anggrek.

Selintas, pertahanan Bima nyaris jebol. Mungkin bisa saja ia nekat untuk meninggalkan segala tugas dan berkas kantornya untuk ikut berkebun bersama Nana dan Ayahnya. Berkebun, perkerjaan rumah tangga yang paling ia tidak suka. Sesuatu yang seumur hidup tidak pernah di lakukan Bima walaupun cuma sekedar menyiram tanaman.

Satu jam berlalu dan Bima sudah tidak tahan lagi. Apalagi matahari semakin turun ke barat dan langit mulai berubah jingga.

"Nana." Panggil Bima dengan suara cukup keras.

Nana tersentak kaget, ia langsung menoleh kebelakang, tersenyum. Pipi Nana sedikit kotor dan rambutnya berantakan keringat. Tapi seperti biasa, Nana tetap cantik. Nana memang selalu kelihatan cantik.

"Berhenti berkebun. Sudah sore." Lanjut Bima sebelum perasaan aneh mulai menyelinap. Rasa bersalah? Mungkin, karena Bima tidak bisa mengatur suaranya untuk tidak tampak menakutkan. Karena memang begitulah suara aslinya, berat, dalam, kaku dan keras. Suara yang terbentuk dari dulu dan semakin menjadi hingga saat ini. Suara yang tidak akan pernah bisa ia rubah, termasuk nada dan intonasi dingin yang sering terselip.

Kadang suara ini berguna. Terutama dalam ruang sidang. Membuat lawan Bima mati kutu. Membuat penampilannya lebih berwibawa. Membuat orang-orang berpikir sepuluh kali untuk cari masalah dengannya. Tapi untuk Nana, semua berbeda.

Ayah Bima ikut menoleh ke arah Bima sambil melepaskan sarung tangan berkebunnya sebelum perlahan berdiri dibantu oleh Nana, "Maaf ya. Bapak keasikan berkebun sampai nggak sadar."

Bima melirik singkat ayahnya yang kini berjalan tertatih-tatih untuk duduk di kursi sampingnya sebelum bergumam tanpa senyum pada Nana, "Bapak biar mandi, minum, istirahat."

"Iya. Kusiapkan dulu." Nana mengangguk patuh sambil tersenyum kemudian berjalan masuk kedalam rumah.

"Bima, sama anak perempuan itu harus lebih ramah." Gerutu ayah Bima pelan setelah Nana menghilang dari balik pintu, "Apalagi dia calon istrimu."

Bima mengalihkan pandangan sejauh-jauhnya, berusaha tampak tidak peduli walaupun ia sebetulnya mendengarkan juga. Sayangnya, mengubah kebiasaan yang sudah mengakar lama itu nggak semudah membalikkan telapak tangan.

"Kamu juga mandi." Ujar Bima pada Nana begitu ayah Bima selesai mandi dan masuk kedalam kamar beliau sesuai kebiasan beliau di waktu petang.

"Nggak Bima." Nana menggeleng, "Aku mau langsung pulang."

"Badanmu kotor."

"Makanya aku mau pulang."

Bima menggertakan gigi, "Mandi sekarang. Disini."

Nana meringis lucu, "Tapi aku nggak bawa baju ganti."

"Pakai bajuku." Jawab Bima singkat sambil mengangkat beberapa berkas, "Banyak yang harus kita bicarakan."

"Itu apa?" Tanya Nana sambil menunjuk berkas yang di pegang Bima, "Soal apa?"

"Soal rencana pernikahan kita."

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang