Part 30

1.3K 191 12
                                    

Aku menatap Bima mengancingkan kembali kemejanya. Menahan diri untuk tidak menyentuhkan jemariku pada dada Bima yang sekeras batu. Sungguh-sungguh hanya berdiri menonton, sampai Bima menjulurkan lengannya. Memintaku untuk menggulung lengan kemejanya.

Bima hanya menunduk diam tanpa senyum ketika aku perlahan menggulung lengan kemejanya. Aku tau ekspresi dingin Bima bukan berarti Bima marah. Hanya karena, itulah Bima apa adanya.

Kenyataannya, aku nggak akan pernah lagi bisa menemukan orang lain yang bakal mengelus rambutku selama dua jam. Menyisir rambutku. Membuatkanku berbagai macam makanan saat aku tidak nafsu makan. Orang yang mengelap bibirku selesai aku makan. Memakaikanku sepatu. Yang mau mengantarku kemanapun walaupun tengah malam. Yang bakal membelikanku makanan kesukaanku sekalipun makanan yang kuminta ada di restoran yang jauhnya puluhan kilometer.

"Apa makanan favorit keluargamu?" Tanya Bima sambil menggandeng tanganku menuju kembali ke mobil.

"Buah." Jawabku sambil menyebutkan segala jenis buah-buahan yang sering dikonsumsi keluargaku.

Bima mengangguk singkat dan aku melanjutkan bercerita soal keluargaku. Bukan cerita baru. Bisa di bilang Bima sudah cukup hafal seluk beluk keluargaku karena aku sering cerita tentang mereka pada Bima.

Ayahku bukan orang yang banyak bicara tapi beliau ramah. Apalagi dengan tamu. Berbeda dengan ibuku. Beliau lebih easy going. Selalu senyum dan tidak pernah marah. Ibuku adalah aku, versi tua.

"Aku nggak pernah bayangin Bima bakal datang ketemu orangtuaku." Kataku sambil mengelus parsel buah di pangkuanku yang baru saja di beli Bima dari supermarket.

Bima mengetuk jemarinya pelan di stir mobil, "Cepat atau lambat aku pasti bertemu mereka."

"Maksudku, Bima pernah bilang; sebelum aku setuju soal perjanjian pranikah, Bima nggak akan nemui orangtuaku."

Bima memutar bola matanya dengan jengah. Kelihatan jelas ia masih menimbang keputusannya sendiri, "Klausa nomor dua dengan beberapa poin tambahan."

"Hm?" Aku ngangkat alis mengerutkan kening. Butuh beberapa detik untukku untuk memahami kalimat Bima yang terdengar terlalu formal. Seakan aku sedang di sidang, "Maksud Bima, Bima bakal mempertimbangkan soal aku boleh kerja gitu?"

Bima mendecakkan bibir tak suka, "Ya, dengan beberapa pertimbangan."

Tanpa sengaja aku tertawa pelan geli seperti anak kecil. Ajaibnya, aku sudah bahagia lewat hal sekecil ini.

"Kenapa kamu ketawa?" Mata Bima seketika memincing menatapku. Tetapi tangannya menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku.

Aku tersenyum lebar sambil menjawab, karena aku seneng. Karena aku bahagia. Jawabanku langsung di tanggapi Bima dengan berkata, "Kamu memang selalu kelihatan bahagia." Bima mengalihkan pandangannya ke jalan kembali dengan wajah tanpa ekspresi, "Dan aku harus belajar banyak soal itu, dari kamu."

Aku mengangguk-angguk semangat kemudian menyetel lagu-lagu kesukaanku di dalam mobil lewat handphone. Aku bernyanyi mengikuti lagu. Suaraku jelek. Aku tau. Tapi Bima kali ini nggak protes. Ia malah tertawa terbahak-bahak saat nada suaraku melenceng ke kanan dan temponya lari ke kiri. Ia bahkan memintaku menyanyi lagu yang sering ku nyanyikan dulu waktu sekolah dasar. Lagu anak-anak. Aku saja sudah lupa dulu aku suka nyanyi lagu dinosaurus. Anehnya, Bima ingat.

Aku masih menyanyi pelan saat Bima membuka pintu mobilnya di depan rumahku dan Bima masih tersenyum. Bagi orang lain semua ini mungkin nggak lucu, tapi bagiku dan Bima kegiatan nggak jelas ini menyenangkan.

Ibuku yang pertama kali keluar menemuiku dan Bima. Beliau tersenyum lebar menatap Bima dan langsung tertawa kecil begitu beliau mendengar suara Bima kembali untuk pertama kalinya lagi setelah bertahun-tahun.

"Ibu sudah lama sekali nggak ketemu kamu, Bima. Ibu sampai lupa kalau suaramu ternyata seberat ini." Ujar Ibuku kaget sambil menepuk-nepuk sofa ruang keluargaku supaya Bima duduk di samping beliau.

Aku mengangguk setuju pada ibuku. Suara Bima memang sangat berat, dalam, sedikit serak, berwibawa. Jadi kalau tanggapan normal ibu-ibu seusia beliau paling ketawa kaget atau terpesona. Maka tanggapan rata-rata orang seumuran ku adalah menciut takut. Terintimidasi cuma gara-gara suara.

"Maaf saya datang agak terlalu malam." Ujar Bima lalu melanjutkan mengobrol cukup banyak hal dengan ibuku.

Bima memang biasanya tidak banyak bicara, tapi Bima tau cara menempatkan diri, membangun komunikasi dan bagaimana memperlakukan orangtua. Hal kecil ini membuatku semakin paham alasan Bima bisa menjadi seorang pengacara sukses. 

"Ayah mana?" Tanyaku pada ibuku di sela-sela pembicaraan mereka.

Ibuku melirik ke lorong rumahku yang menuju kamar utama. Kamar orangtuaku.

"Ayahmu ada di kamar." Jawab ibuku.

"Ngg...." Gumamku singkat. Sedikit bertanya-tanya kenapa ayahku tidak keluar dari kamarnya padahal aku yakin suara kami menebus dinding sampai ke kamar. Apalagi ayahku adalah orang yang sangat ramah sekali dengan tamu.

"Oh iya. Ibu tadi, sebelum kamu pulang. Sempat cerita ke ayah. Kalau kamu sekarang sudah punya pacar,namanya Bima. Teman masa kecil mu dulu."

Aku mengangguk. Biasanya aku akan langsung tanya; tanggapan ayah apa? Tapi nggak sopan kan untuk bertanya hal seperti itu ke ibu di depan Bima.

"Kamu panggil ayahmu sana. Beliau juga pasti ingin ketemu Bima."

Aku mengangguk patuh lalu berjalan perlahan menuju ke kamar orangtuaku. Aku sudah mengetuk pintu berkali-kali. Tapi tidak ada jawaban. Akhirnya karena terpaksa, aku membuka pelan pintu kamar ayahku sambil bergumam maaf.

Detik itu aku melihat ayahku. Duduk termenung di pinggir kasur. Memakai kaus dan celana pendek. Beliau mendongakkan kepala begitu melihatku lalu tersenyum tipis.

"Ayah... Ada tamu. Bima." Ucapku.

Ayahku tidak bergeming. Tetap terdiam dalam waktu lama sebelum akhirnya menggelengkan kepala dan menyuruhku untuk menutup pintunya kamarnya kembali.

Gerakan dan kalimat singkat ayahku membuatku mematung. Sesaat darahku seakan melebur keluar dari dalam tubuhku. Membuat perasaan bahagiaku jungkir balik dalam waktu sekejab.

Ayahku bukan orang seperti itu dan kalau ia sampai tidak mau bertemu dengan Bima, berarti ada sesuatu yang amat sangat salah saat ini.

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang