Part 11

1.5K 230 0
                                    

"Ini kamar mas Bima, mbak Nana." Ucap Bu Yani sambil menunjuk pintu kayu berwarna Mahogany di hadapannya, "Kata mas Bima kuncinya ada disitu." Lanjut beliau sambil menunjuk lemari kayu kecil di samping pintu.

Alisku bertaut, "Kamar mas Bima selalu di kunci?"

"Iya mbak. Seumur-umur saya kerja disini saya nggak pernah masuk ke kamar mas Bima. Mas Bima nggak pernah bolehin siapapun masuk ke kamarnya."

Aku menelan ludah gugup sementara Bu Yani pamit untuk kembali pergi ke dapur. Untuk sesaat, aku mematung canggung di depan pintu kamar Bima. Selama ini aku nggak pernah membayangkan kamar Bima. Sejak aku kecil, sampai sekarang. Rasanya aneh membayangkan Bima tidur pulas damai tanpa pertahanan di atas kasur. Karena dalam bayanganku, Bima selalu tampak duduk tegak dengan wajah waspada siap perang.

Tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk membuka pintu kamar Bima juga. Karena aku bakal kelihatan aneh terlalu lama berdiri membeku di depan pintu. Selain itu aku juga nggak mau ambil resiko kalau ternyata Bima sedang menontonku sedari tadi lewat CCTV dari kantornya.

Aroma parfum Bima langsung menyambutku begitu aku membuka pintu. Kamar Bima terasa hangat dengan lantai kayu oak, single bed, lemari pakaian, dan lemari buku sangat besar di sisi barat. Buku-buku tentang hukum mendominasi pemandangan di kamar Bima. Juga buku-buku lain dengan judul yang sulit.

Di samping rak buku, ada meja kerja Bima yang disusun minimalis. Diatasnya ada laptop dan beberapa berkas. Sementara di sisi timur, ada jendela kaca dengan ukuran cukup besar menghadap langsung ke taman.

Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam mati kutu. Padahal nggak ada siapapun kecuali aku disini dan se yang aku lihatpun juga tidak ada satupun CCTV. Tapi tubuhku tetap saja menegang was-was.

Ini wilayah Bima. Tempat Bima yang paling personal. Seorang Bima yang selalu misterius dan yang tidak pernah secuilpun membagi cerita hidupnya ke orang lain. Tempat yang kata Bu Yani, sama sekali tidak pernah dimasuki siapapun kecuali Bima.

Perlahan aku duduk di atas kursi kerja Bima. Aku nggak berani duduk di kasur Bima yang tertata rapih dan bersih. Jadi aku hanya meletakan pipiku di atas meja kerja Bima sambil menganggumi kertas berisi tulisan tangan Bima yang rapih dan runtut.

Tulisan tangan Bima membuatku teringat masa kecilku. Teringat saat pertama kali aku melihat Bima. Saat Bima berdiri di depan kelasku, di perkenalkan oleh guru kelas kami.

Aku ingat, rambut Bima sedikit berantakan saat itu. Juga pandangan jengkel Bima setelah mendengar namaku di sebut oleh guru kelas kami dan yang paling kuingat, Bima yang pertama membantuku setelah aku muntah. Ia mengelap bekas muntah di tanganku dengan lengan jaketnya dengan wajah marah.

Aku ingat Bima jarang bicara. Ia sering menopangkan dagu sambil mendengarkan pelajaran. Bima juga selalu tampak serius dan selalu bisa menjawab pertanyaan dari guru.

Aku selalu ingat Bima. Masa laluku yang paling membekas. Mungkin aku tidak betul-betul ingat hari tanggal dan waktu secara tepat, tapi aku ingat betul perasaan yang kurasakan saat bersama Bima sepanjang waktu itu;
Aku selalu suka didekat Bima.

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang