part 5

1.9K 274 4
                                    

Untuk sesaat Nana hanya terdiam seperti menimbang-nimbang sementara Bima membeku waspada. Inilah yang selalu Bima takutkan sejak dulu. Sejak bertahun-tahun lalu. Salah satu alasan terbesar kenapa ia dulu nekat meninggalkan Nana;
Karena Bima mengenal dirinya dengan baik, semua kejelekan, kekurangan dan obsesinya.

Bertahun-tahun Bima membangun banyak batas tak terlihat. Batas yang tidak boleh dimasuki oleh siapapun. Karena Bima tau, sekalinya ada siapapun atau apapun melalui batas itu atas ijinnya maka Bima nggak pernah membiarkan orang itu bebas kembali. 

Dulu, Bima tidak mampu untuk membiarkan itu. Membiarkan Nana selamanya terjebak dalam teritorialnya. Tidak bisa kemanapun, terkurung seperti burung dalam sangkar. Bertahun-tahun Bima membiarkan Nana bebas untuk kabur. Tapi Nana malah memutuskan kembali. Menjebak dirinya sendiri. Membangkitkan sisi monster dalam diri Bima. Membangun dinding yang tidak mungkin lagi Bima rubuhkan.

Sesuatu yang Nana mungkin tidak benar-benar pahami, bahwa memutuskan masuk kedalam kehidupan Bima, betul-betul akan mengubah hidupnya. 

"Untuk syaratku yang pertama, kamu nggak akan keberatan?" Tanya Bima untuk kedua kalinya. Ia sudah menanyakan hal ini tadi malam yang hanya di jawab Nana dengan anggukan kepala.

"Aku nggak keberatan." Sekali lagi Nana hanya menganggukan kepala tanpa menatap Bima.

"Lihat aku." Geram Bima. Ia menggenggam wajah Nana untuk memaksa mata Nana untuk menatap langsung matanya, "Kamu bener-bener siap untuk bersamaku sampai mati? Walaupun kamu orang paling sabar yang pernah kukenal, apa kamu bener-bener yakin?"

"Bukan aku yang nggak yakin. Tapi Bima." Jawab Nana dengan raut wajah sedih, "Bima nggak yakin aku bakal tetap disamping Bima. Makanya Bima mau buat perjanjian di atas hukum."

Bima memincingkan mata galak.

"Padahal syarat yang aku minta, kita saling percaya. Bukannya ini jadi kontradiksi?"

"Karena kamu mungkin nggak betul-betul kenal aku Na."

"Aku tau Bima pemarah, posesif, gampang cemburu, otoriter. Apa ada yang lain? Bima nggak punya ruang rahasia atau kebiasaan yang uhh aneh-aneh kan?" Tanya Nana sambil menggaruk puncak kepalanya dengan wajah malu.

Jawaban Nana yang di luar ekspektasi  membuat Bima tanpa sadar tertawa, "Kamu takut?" 

Nana menggeleng.

"Gimana kalau aku pembunuh berantai?"

"Bima orang baik. Bima kan pengacara."

"Gimana kalau aku bukan pahlawan tapi penjahatnya?"

"Apa suatu saat nanti, Bima bisa aja mukul aku?"

"Nggak. NGGAK AKAN PERNAH. Kamu bisa masukan itu ke perjanjian."

"Nggak perluh." Alis Nana bertaut lucu, "Aku percaya Bima."

"Kalau aku bilang, kamu mungkin bakal hidup kayak burung dalam sangkar begitu kita menikah, apa kamu percaya?"

"Apa aku bener-bener bakal di kurung dalam kamar?"

"Nggak."

"Apa Bima bakal ngatur caraku berpakaian?"

"Nggak."

"Apa Bima nggak akan bolehin aku ketemu atau ngehubungi siapapun?"

"Nggak."

"Terus sejauh mana yang Bima maksud?"

"Seperti yang aku bilang sebelumnya aku mau kamu nggak kerja dan hanya mengurus keluarga dirumah. Aku bakal antar kamu kemanapun dan kamu harus ikut aku kemanapun."

"Oh." Nana menggigit bibirnya pelan, "Ternyata memang banyak yang harus kita bicarakan sebelum menikah ya?"

"Ya. Aku juga baru bakal ketemu orangtuamu setelah kita menemukan titik tengah soal ini."

"Apa Bima bakal mau ngalah seandainya aku bener-bener keras kepala nggak mau nyetujui syarat Bima nomor dua?"

Bima tersenyum mematikan, "Untuk hal itu, nggak akan pernah."

"Lalu kalau aku tetap nggak setuju, apa kita nggak akan menikah?"

"Kamu HARUS setuju. Karena cuma itu yang aku mau."

Nana mendengus. "Gimana kalau aku setuju tapi aku minta syarat yang lebih aneh sebagai gantinya?"

Bima terkekeh geli. Luar biasa. Dengusan kesal Nana yang biasanya selalu terlihat tersenyum itu membuat Bima gemas.

"Aku bakal ngelakuin apapun yang kamu mau. Semua syarat. Kecuali dua hal itu. Kamu bisa tulis di perjanjian pranikah."

"Stop! Nggak semua hal harus ada atau di tulis di perjanjian pranikah, Bima!"

"Supaya semuanya sah di mata hukum."

"Kenapa pernikahan kita jadi kayak kontrak kerja outsourcing sih?!" Protes Nana sambil melompat duduk menjauh dari Bima.

Bima tergelak, "Semua demi kebaikan mu Na. Menikah itu berat. Menikah dengan orang sepertiku lebih berat. Kamu harus siap dengan semua konsekuensinya."

"Gimana kalau semua ini buat aku ragu untuk menikah sama Bima?"

Sorot wajah Bima sontak berubah dingin, "Aku nggak akan biarin kamu pergi." Gumam Bima. Ia menekan setiap kosakata. Membuat semua kata terdengar lebih mengintimidasi dan mengancam.

"B..bima?" Gumam Nana terbata-bata, kaget dengan perubahan ekspresi Bima, "Bima bikin aku takut sekarang."

"Kamu memang harus takut." Dengan cepat Bima menjatuhkan Nana kembali ke atas sofa sebelum mendekatkan bibirnya ke bibir Nana, "Kamu juga harus tau. Apapun yang terjadi aku nggak akan pernah ngelakuin kesalahan yang sama seperti dulu. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu, Na. Sampai kapan pun. Dengan alasan apapun. "

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang