Part 27

1.2K 177 7
                                    

"Jangan gigit jarimu waktu bicara." Ucap Bima di telinga Nana sebelum memundurkan tubuhnya kebelakang dalam jarak sopan.

"Eh?" Nana mengerjapkan mata bingung, "Maksud Bima?"

"Kamu tadi gigit jarimu." Bima menggertakan gigi jengkel, "Waktu bicara dengan Kairo."

Mata Nana mengerjap makin cepat. Kini ditambah keningnya berkerut semakin dalam. Raut wajah kekanakan Nana membuat perasaan Bima jauh lebih tenang. Keberadaan Nana membuat api apapun dalam tubuh Bima padam.

"Kamu nggak sadar kan?"

"Aku nggak tau. Apa iya?" Tanya Nana balik.

Raut cemberut Bima berubah menjadi tawa kecil. Ia mengelus puncak kepala Nana dengan penuh sayang sebelum menutup pintu penumpang dan bergegas menuju ke kursi pengemudi. Bagaimanapun ada hal yang lebih penting dan mendesak di banding gerakan kecil menggoda yang tak disadari oleh Nana.

"Kamu nggak pernah ngelakuin hal kayak gini sebelumnya." Ucap Bima sesaat setelah menyalakan mesin mobilnya, "Pergi tanpa kabar."

Nana mengangguk cemas, "Uhm... banyak yang mau kubicarakan dengan Bima."

"Ya." Bima memincingkan mata ke jalan dan mulai membelokkan mobilnya ke tujuan yang lagi-lagi sangat di ingatnya dan hanya satu tempat itu yang langsung muncul dalam pikiran Bima.

Perjalanan tidak memakan waktu lama. Sepanjang jalan itupun Nana menghabiskan waktu dengan bercerita. Sesuai kebiasaannya. Bercerita apapun kejadian yang ia alami dari kemarin perjalanan dengan Sarah hingga detik ini.

Bima balas tersenyum dan mengangguk. Ia suka mendengar suara Nana. Menikmati ceritanya yang kadang belepotan. Gaya bicaranya yang lucu. Hasil dari kemampuan komunikasi yang hampir jarang di latih. Nana jarang bicara dengan siapapun kecuali Bima. Bisa dibilang, hanya Bima yang tau betapa cerewetnya Nana kalau ia sudah merasa nyaman dengan seseorang.

"Kenapa kita disini?" Ucap Nana. Ia menggenggam canggung seatbelt di tangannya begitu menyadari Bima membelokkan mobilnya ke bangunan yang Bima yakin Nana juga sangat mengingatnya di luar kepala.

"Ini rumahmu."

"Bukan." Nana menggeleng, "Ini rumah Bima dan ayah Bima."

"Rumahku, rumahmu juga."

Gelengan kepala Nana semakin keras dan baru berhenti saat Bima berkata tegas; Semuanya milikku. Milikmu. Nana melirik Bima sambil mengernyit lucu.

Bima tersenyum singkat. Pandangannya kembali ke bangunan rumahnya. Rumah yang ia tempati tidak lebih dari lima tahun tapi menyimpan kenangan yang luar biasa. Bangunannya tidak banyak berubah dan kelihatan jelas, pak Nugroho. Asisten rumah tangga ayahnya sejak dulu, memenuhi janjinya untuk merawat rumah ini semenjak Ayah Bima dan Bima pergi.

"Apa ada yang tinggal disini?" Tanya Nana sesaat setelah Nana melangkah turun dari mobil dan menginjakkan kaki ke jalan setapak rumah dari bebatuan kecil jingga yang terawat rapih.

"Keluarga pak Nugroho yang merawat rumah ini. Beliau datang setiap sore."  Jawab Bima sambil mengangkat kunci mobilnya dengan beberapa kunci yang ikut terpasang di gantungan.

Tak beberapa lama, Bima menarik tangan Nana yang masih mematung untuk masuk kedalam rumah. Membawa Nana ke ruang keluarganya yang sangat minimalis. Minim perabotan dan hanya tersisa dua sofa berwarna cappucino.

"Duduk disini." Perintah Bima tanpa basa-basi.

Nana lagi-lagi kembali mematung. Ia hanya diam menggenggam jemarinya dengan pipi merona memandangi sofa dihadapannya.

Bima mengernyit menahan senyum. Dengan cepat, ia mengangkat Nana dan mendudukkannya dalam pangkuannya. Nana tersentak kaget dan buru-buru menyembunyikan wajahnya di leher Bima seperti anak kecil bergelung dalam pelukan orangtua.

"Sudah siap bicara?" Bisik Bima setengah tertawa.

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang