Aku menggelengkan kepalaku dengan gerakan hampir tidak ketara. Secepat mungkin. Gelengan itu bukan untuk orang lain, tapi lebih untuk diriku sendiri. Usaha kecil untuk mengabaikan ayahku yang aku tau; bahkan tanpa harus kulihat, kalau beliau sedang memperhatikanku dari sofa panjang teras rumah Bima.
Aku tau ayahku ingin sekali segera pulang. Beliau tidak betah jauh-jauh dari ibuku. Sejak dulu begitu. Setiap ayahku kegiatan dinas di luar kota, ayahku lebih suka memesan ruang meeting di stasiun atau hotel dekat bandara untuk langsung segera pulang lagi begitu meeting beliau selesai.
Ayahku sedari pagi, sudah memintaku untuk pulang bersamanya. Tapi aku tidak bisa. Aku berat meninggalkan ayah Bima yang sekarang sedang duduk di kursi meja makan. Tersenyum bicara ngelantur sambil ku suapi bubur dan sup buatan Bima.
Sekarang bukan cuma kondisi memori beliau yang terjun bebas tapi juga fisik motoriknya. Pak Ilyasa masih bisa berjalan pelan-pelan kesana kemari. Tapi beliau semakin kesulitan memakai celana dan baju sendiri. Tangan beliau juga gemetaran setiap mengangkat air minum. Makanya semua alat makan beliau sudah di ganti Bima dari semula piring biasa jadi plastik.
Dengan gembira pak Ilyasa memakan semua makanan yang kusuapkan pada beliau. Kembali menjadi bayi yang apapun yang masuk dalam mulutnya sebagian akan terlepeh keluar atau berceceran di meja. Aku sama sekali tidak merasa repot dengan semua itu. Justru malah membuat rasa sayangku pada ayah Bima menjadi berkali-kali lipat. Sesayang rasa sayangku pada kedua orangtua.
Aku ingin memperlakukan pak Ilyasa sebaik sehormat mungkin selama beliau masih ada. Karena seandainya aku tua nanti, aku juga ingin di perlakukan dengan penuh kasih sayang, bukan sebagai beban seonggok tulang di balik daging yang di tunggu-tunggu tanggal kematiannya.
Tiba-tiba pak Ilyasa tanpa sengaja menjatuhkan sendok. Reflek aku menunduk mengambil sendok yang tergeletak di dekat kaki ayah Bima. Saat itulah tanpa sengaja aku melihat Maharani mengangkat satu tangannya dengan canggung ke depan dari samping pintu kamarnya, hendak ikut membantu. Tapi langsung buru-buru menjatuhkan tangannya kembali dan membuang wajah dengan muka sedih.
Aku berdeham pelan. Sedikit merasa bersalah walaupun aku tidak salah. Maharani bertindak begitu,-tidak bisa apa-apa, karena tadi pagi ia mendengar Bima dengan tegas memberhentikannya dan memulangkannya kembali ke yayasan. Bima berkata cukup singkat; kesalahan Maharani kemarin cukup fatal. Hanya itu. Tanpa basa-basi. Selama Bima bicara, Maharani hanya bisa mematung. Tidak berani mendongak. Sementara ayahku, Bu Yani dan aku hanya bisa menonton.
"Kemarin itu Mbak Maharani lagi telepon waktu pak Ilyasa pergi keluar gerbang, mbak." Bisik Bu Yani padaku di samping meja counter dapur setelah aku selesai menyuapi makan ayah Bima.
"Maharani pasti kan nggak sengaja." Bisikku balik.
"Ya saya tau mbak.. Tapi bener kata mas Bima. Kesalahan mbak Maharani itu memang berat...." Bu Yani melirikku sambil menahan canggung, "Ya selain itu kayaknya mas Bima nggak nyaman dengan mbak Maharani, mbak. Mbak Maharani memang ramah. Kadang suka ngajak ngobrol saya atau mas Bima sehabis mas Bima pulang ngantar mbak Nana. Tapi mas Bima, ya mbak Nana tau tho, ndak suka di ajak ngobrol ngalor ngidul apalagi masalah-masalah pribadi."
"Padahal mbak Maharani sudah saya bilangin, saya kan sudah kerja sama mas Bima bertahun-tahun. Mas Bima niku ndak begitu suka ngobrol. Tapi mbak Maharani nya masih ngeyel. Lah Yo Wis tak bilangin. Mas Bima malah tambah Ndak seneng tho."
Aku menghela nafas sebelum berkata, "Nanti saya coba bicara soal dengan mas Bima ya Bu?"
"Iya mbak. Ya memang siapa lagi yang bisa ngajak ngobrol mas Bima selain mbak?"
Aku tersenyum; ingin mengatakan kalau Bima, di balik wajah galak dan pelit bicaranya, sebetulnya baik dan perhatian, tapi pada akhirnya keputusanku jatuh pada tidak berkata apa-apa. Karena aku yakin, semua orang sebenarnya bisa merasakan hal itu tanpa perluh kukatakan.
Mata Bu Yani tiba-tiba melebar ketika melihatku tersenyum di sampingnya dari jarak cukup dekat "Mbak Nana kalau senyum itu... ya ampun." Beliau tertawa pelan, "Ya pantas aja kalau mbak Nana favoritnya mas Bima."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (completed)
ChickLitWarning for mature content,- Sequel read Angin pujaan hujan before, otherwise many things will confuse you Just simple short love story This works dedicated for people who likes sweet, simple, adult love story Enjoy