Part 23

1.2K 194 14
                                    

Sekarang aku baru paham arti dengusan keras Sarah ketika aku tertawa. Sarah serius ingin membuktikan ucapannya lewat tindakannya malam ini.

Dalam bayanganku, reuni SMA hanya sekedar duduk makan di aula SMA kami yang sudah di sulap dengan bermeja-meja makanan prasamanan. Aula sekolahku sekarang sudah jauh berubah. Menjadi lebih besar dengan bentuk dome. Di hiasi lampu-lampu menjuntai di atap sewarna kayu. Aula ini hampir tidak bisa kukenali setelah bertahun-tahun, sama dengan laki-laki dewasa yang kini berjejer di dekatku. Mereka tidak kukenal. Wajah asing yang hilang dalam tumpukan ingatanku.

"Anna. Kamu mau kuambilkan minum?" Tanya laki-laki berkemeja biru yang sebelumnya mengenalkan diri kembali sebagai Kairo.

"Saya bisa ambil sendiri nanti. Terimakasih." Jawabku seramah mungkin tapi lenganku malah langsung di hadiahi cubitan kecil oleh Sarah.

"Nggak apa-apa aku ambilkan. Aku nggak merasa repot kok." Balas Kairo sambil tersenyum kecil,"Kamu mau minum juga nggak SAR?"

"Iya." Jawab Sarah cepat dan di balas Kairo dengan langsung beranjak menuju ke salah satu meja minuman.

"Kairo itu dokter loh Na." Bisik Sarah, "Dulu dia ketua OSIS kita pula."

"Iya." Aku ngangguk-ngangguk, diantara kebingunganku di ajak bicara oleh beberapa orang sekaligus.

"Sekarang kamu kerja dimana, An?" Tanya salah satu orang lagi yang aku lupa namanya siapa. Itu pertanyaan yang sama untuk keempat kalinya yang sudah di tanyakan oleh beberapa orang berbeda. Pertanyaan yang aku bingung menjawab antara aku pengangguran atau perawat gadungan.

Keputusanku akhirnya jatuh pada jawaban nganggur daripada menjawab perawat orangtua dimana pertanyaan itu akan merembet ke hal lainnya yang lebih tidak enak. Ya orang bakal mikir apa tentang perawat gadungan yang masuk lewat jalur orang dalam, di bayar jutaan dan pacaran dengan bosnya sendiri?

Sayangnya itu adalah pertanyaan paling umum. Semua orang gatal ingin menanyakan pertanyaan yang sama ke satu sama lain. Rata-rata sudah punya anak berapa atau kerja dimana. Mungkin mau memperluas relasi kerja atau seperti kata Sarah, reuni adalah ajang pamer pencapaian, materi dan jabatan berkedok silahturahmi.

"Kelihatannya kamu akrab sama Kairo." Bisikku balik.

"Iyalah. Kita kan kerja di rumah sakit yang sama. Atau kamu mau kukenalin sama temen kantorku yang lain? Itu yang duduk dekat pintu masuk, Ryan, dia bagian struktural klaim dana BPJS."

Aku tersenyum kecut, "Nggak usah Sarah."

"Seleramu yang kayak gimana? PNS,  mau? Atau teman sejawat Ryan, Asisten dua kepala manajemen keuangan RS atau kepala kasir?"

"Ini acara reuni kan? Bukan acara take me out?"

"Ya ampun acara jadul gitu masih di inget."

Aku tertawa renyah, "Aku pingin kerja di rumah sakit bukan cari jodoh di rumah sakit."

Tawaku langsung terhenti, ketika melihat Kairo sudah berjalan kembali mendekat ke arah kami. Aku tidak tau apa karena ia terkenal menyandang gelar dokter makanya ia bisa membuat beberapa orang di dekatku sedikit menciut menjauh atau karena memang salahku yang tidak pintar menyambung pembicaraan lebih jauh makanya orang-orang memilih menyerah dan pergi.

Kairo berdiri di hadapanku dengan senyum yang tidak kuingat. Ia tidak pernah menjadi bagian kenanganku. Bukan bagian hidupku, masa laluku. Ia orang asing yang tidak pernah benar-benar kukenal. Sekelebat aku memang mengingat Kairo berpidato saat menjadi ketua OSIS. Sejauh itu, tidak ada lagi.

"Kue sus vanila?" Ucapnya sambil menyodorkan sepotong kue dan segelas kopi, "Maaf, disini nggak ada brownies coklat. Sudah kucari. Sayang ya? Padahal itu kue kesukaanmu."

Aku mendongak menatap Kairo, ia menunduk menatapku tersenyum tulus, "Dulu kamu sering beli brownies di kantin."

"Oh." Aku balas tersenyum. Geli sendiri mendengar ternyata ada sekelebat ingatan kecil tentangku yang muncul di kepala Kairo, "Iya."

"Aku sudah dengar cerita dari Sarah. Memang ada lowongan analis kesehatan di RS kami. Kenapa nggak segera di coba?"

"Boleh." Aku menganggukkan kepala sopan sementara mataku melirik ke kanan kiri mencari keberadaan Sarah. Sejak kapan Sarah tiba-tiba hilang dari sampingku? Aku nggak tau.

"Sudah ada link job vacancies nya?"

"Belum." Jawabku, kini aku terang-terangan tengok kesana sini.

"Kenapa kamu kelihatan bingung, Anna? Ada yang kamu cari?" Tanya Kairo santai.

Aku mendongak kaget dengan pertanyaan Kairo, "Uhm, Ya?"

"Jadi, kamu ada telegram atau what's up?"

"Untuk apa?" Tanyaku bingung.

"Link job application? Sudah ingat?"

Aku terdiam sesaat sebelum kesadaranku meletus, "Oh, maaf. Sarah pasti nanti kirim link job application itu ke saya. Saya lupa. Sekali lagi maaf."

"Kenapa dari aku kamu menjadi saya dan kamu. It just too formal for us."

Aku menarik nafas dan mengulang kembali kalimatku sebelumnya dengan lebih tidak baku di akhiri dengan kata yang sama, "Maaf ya?"

"Jadi gimana caranya saya dapat langsung nomormu?" Tanya Kairo tak berkurang riangnya.

Wah. Luar biasa. Aku kadang sampai lupa kalau aku sudah berumur dua puluh enam dan diusia mendekati tiga puluh itu tidak ada lagi yang namanya basa-basi malu-malu kucing. Kebanyakan orang mulai berkejaran dengan waktu untuk mencari pasangan. Aku sering menghadapi hal kayak gini. Tapi nggak pernah bisa tuh membuatku terbiasa.

Disaat aku terdiam cukup lama, Kairo akhirnya membuka bibirnya duluan, masih dengan senyum tulus yang sama ia berkata, "Kamu masih kayak dulu, Anna. Hampir nggak berubah. Available but still indifferent."

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang