Sejujurnya dalam keluargaku itu tidak ada budaya silent treatment. Ayahku juga bukan orang Grumpy. Seumur hidup aku belum pernah bertengkar dengan beliau. Jadi kalau ada sesuatu yang mengganjal, ayahku pasti akan langsung mengajakku bicara. Hari itu, malam itu juga.
"Ayah ingat Bima?" Tanyaku sambil duduk di sofa ruang keluargaku, disamping ibuku, tak beberapa lama setelah Bima pamit pergi dari rumahku.
"Dia temanmu waktu kecil kan?" Jawab papaku tanpa menatapku sambil meminum kopinya.
"Iya."
"Yang pernah telepon ke rumah beberapa kali waktu kamu masih sekolah dasar?"
"Iya."
"Orang yang pernah datang ke rumah waktu kamu SMP?"
"Iyap." Aku tersenyum sedikit. Terkejut karena ayahku mengingat riwayat hidup Bima seperti semuanya baru terjadi dua hari yang lalu.
"Juga orang yang dulu bikin kamu sedih selama berbulan-bulan sewaktu kamu SMA?"
"Maksud ayah?" Tanpa sadar aku berdeham untuk menyamarkan suasana hatiku yang mendadak gelisah.
"Kamu pikir ayah nggak tau?"
"Aku nggak pernah cerita kan?"
"Cerita itu nggak harus selalu dari kamu sendiri."
"Ayah dengar dari siapa?" Tanyaku sambil melirik ibuku yang buru-buru menggelengkan kepalanya.
"Dari temanmu." Ayahku kini menatap mataku serius, "Ayah daridulu beberapa kali tidak sengaja dengar pembicaraanmu dengan Sarah. Termasuk pembicaraan kalian pagi ini."
Aku mengatupkan bibirku. Aku tau cerita selalu berbeda tergantung terdengar dari sudut pandang mana dan aku cukup mendengar nama Sarah untuk tau se antagonis apa Bima dalam ceritanya.
"Ayah, Bima itu orang paling baik yang pernah kukenal."
Ayahku menghela nafas. Tatapan mata beliau berubah menjadi tatapan mata khawatir yang kukenal baik sedari kecil,"Kamu dari dulu selalu nganggap semua orang baik. Itu karena kamu nggak kenal banyak orang. Duniamu daridulu selalu terbatas dengan orang yang sama."
"Tapi aku benar-benar kenal baik Bima." Bantahku.
"Tapi ayah nggak kenal dia."
Aku mengerutkan keningku. Curiga kearah mana percakapan ini selanjutnya.
"Sudahlah ayah.. yang menjalani juga Anna. Dia pasti tau yang terbaik untuk dia." Gumam ibuku sambil menepuk-nepuk bahuku. Menyemangati ku.
"Kamu bahkan selama ini nggak pernah pacaran." Protes ayahku mengabaikan ibuku. Kini beliau juga meletakan cangkir kopinya di atas meja. Tanda percakapan kami mulai mengalami jalan buntu.
"Bukannya ayah ibu daridulu selalu bilang; aku harus menikah. Aku nggak boleh tidak menikah. Tapi begitu aku punya pilihan. Begitu aku bertemu dengan orang yang betul-betul mau ku nikahi. Ayah malah nggak setuju?"
Ibuku mengerjapkan mata menatapku. Ini pertama kalinya seumur hidup aku meninggikan suaraku di depan orangtuaku. Terutama di depan ayah. Karena daridulu aku anak yang sangat penurut. Aku hampir nggak pernah membantah mereka.
"Ayah. Seenggaknya coba dulu mengenal Bima." Ujar ibuku lembut, membantuku.
"Sebentar. Tolong dengarkan ayah." Ayahku mengangkat tangannya. Tanda perintah untuk menyuruh ibuku berhenti bicara sebelum mata beliau tertuju kepadaku, "Kamu harus kenal orang lain, Anna. Membuka diri. Kamu harus punya pembanding. Jangan terpusat dengan satu orang yang sama daridulu. Sebelum kamu memutuskan sesuatu yang besar, apalagi memutuskan untuk menikah."
Jemariku berubah dingin bahkan aku sampai gemetaran kecil. Perasaanku sangat nggak enak. Aku ingin membantah ayahku lagi. Tapi ibuku diam-diam menepuk lututku seakan memintaku untuk tetap diam. Beliau lalu tersenyum singkat sesaat setelah ayahku dengan cepat bangkit berdiri dan pergi dari ruang keluarga dengan wajah merah padam.
"Kamu sama seperti ibu, Anna. Ibu juga susah untuk membuka hati untuk orang lain tapi sekali ibu suka dengan seseorang, ibu bakal sayang dengan orang itu selamanya." Gumam Ibuku pelan begitu beliau yakin ayahku benar-benar sudah diluar zona dengar, "Tapi kamu juga harus pahami ayah. Benar kata ayah; kamu memang nggak punya pengalaman apa-apa. Menikah itu cuma sekali seumur hidup. Beliau khawatir, Anna. Ayahmu nggak mau kamu menyesal. Nggak mau dirinya menyesal."
Aku menggigit bibirku. Aku ingin menangis. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak kulakukan, "Gimana caranya aku yakinkan ayah?"
"Banyak-banyak cerita dengan ayahmu. Ibu yakin, pilihanmu; Bima, nggak salah. Walaupun cuma bertemu sebentar, ibu bisa lihat seberapa sayang Bima dengan kamu. Karena perempuan,-kamu memang harus menikah dengan seseorang yang menyayangi kamu jauh lebih dari kamu menyayangi dia."
"Kenapa?"
Ibuku tertawa kecil, "Kalau kamu sudah menikah nanti, kamu pasti paham."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (completed)
ChickLitWarning for mature content,- Sequel read Angin pujaan hujan before, otherwise many things will confuse you Just simple short love story This works dedicated for people who likes sweet, simple, adult love story Enjoy