Part 18

1.2K 188 5
                                    

Aku mendongak, menatap gedung apartemenku dari balik jendela mobil begitu mobil Bima terparkir. Entah harus tertawa atau garuk-garuk kepala. Aku nggak paham lagi.

Di sepanjang jalan, Bima tidak menanyakan pendapatku sama sekali soal 'restauran' yang akan kami datangi dan aku sendiri juga tidak berkata apa-apa karena terlalu sibuk dengan pikiranku. Tapi sejauh ini aku nggak menyangka, makan di luar dalam konotasi Bima artinya adalah makan di unit apartemenku.

Lalu tanpa basa-basi pula, Bima langsung membuka pintu mobilku, menggandeng tanganku memasuki unit apartemenku.

"Kita beneran makan di apartemenku?" Ulangku untuk kedua kalinya.

"Ya." Jawab Bima singkat.

"Tapi aku nggak punya makanan apa-apa."

"Aku yang masak."

"Kenapa kita nggak bener-bener makan di luar? Maksudku di restauran."

"Kamu harus makan-makanan yang sehat." Bima menatapku dengan raut serius sambil membuka pintu ruang apartemenku.

Kemudian selama setengah jam kemudian aku hanya bisa diam. Menonton Bima memasak bahan-bahan dari kulkas apartemenku dengan gerakan cepat. Itu kemampuan yang hanya di miliki oleh orang yang terbiasa berkejaran dengan waktu di setiap pagi untuk memasak sebelum berangkat kerja.

Disela-sela menonton Bima memasak, aku menghela nafas. Harusnya aku menyadari ini dari lama. Sifat Bima yang nggak pernah berbasa-basi itu kelihatan jelas dalam kebiasaannya sehari-hari. Bima nggak pernah bertele-tele. Selalu bekerja cepat, serius, fokus. Juga, bukannya dari dulu saat Bima memutuskan sesuatu, Bima hampir tidak pernah berdiskusi dengan siapapun?  Bima selalu memutuskan semuanya sendiri. Menyimpan masalahnya sendiri. Menanggung semuanya tanpa di bagi.

Aku juga teringat sewaktu kecil, aku selalu menganggap remeh kebiasaan Bima yang hampir tidak pernah menanyakan pendapatku. Tapi kini, setelah kualami sejuta kali. Hal ini, menyadarkan ku bahwa semuanya bisa menjadi titik masalah di suatu saat nanti.

"Bima?" Bibirku tanpa sadar bergerak memanggil nama Bima ketika Bima meletakan sepiring makanan di meja depanku kemudian duduk di sofa di sampingku.

"Tentang perawat bapak yang baru?" Ucap Bima tanpa basa-basi.

Aku menggigit bibir, "Iya."

"Kamu bisa bantu Maharani kalau kamu mau."

"Kalau aku mau?" Ulangku dan tanpa kusadari jantungku mulai berpacu. Bukan rasa yang menyenangkan. Lagi-lagi perasaan asing yang jarang kurasakan.

"Atau kamu bisa istirahat."

"Istirahat?" Ulangku lagi. Wajahku mulai merah dan nafsu makanku menghilang.

Ini perasaan yang selalu kuhindari. Aku benci marah. Aku hampir tidak pernah marah, "Apa menurut Bima, selama ini aku terpaksa merawat bapak? Karena aku di bayar?"

"Aku nggak pernah berpikir begitu." Jawab Bima kalem dengan bibir sedikit tertarik kesamping. Bima nahan ketawa disaat aku nahan emosi, membuatku tambah jengkel.

Amarahku langsung meledak. Sayangnya semarah-marahku, aku cuma bisa merempet panjang lebar tentang aku yang nggak bisa cuma duduk diem bengong menonton Maharani mengurus bapak, aku nggak betah. Aku nggak suka nggak ngelakuin apa-apa. Aku mau merawat  bapak seperti biasanya.

Reaksi Bima, dia malah tersenyum makin geli, "Ya. Aku bakal bilang ke perawat bapak supaya mulai besok kalian bisa merawat bapak sama-sama."

Lalu senyum Bima berubah menjadi tawa saat melihatku menggertakan gigi, padahal aku serius marah dan jawaban Bima tidak memuaskan sama sekali.

"Aku juga nggak suka ada perempuan tinggal di rumah Bima."

Bima menangkupkan tangannya di bawah dagu, tersenyum gemas menatapku, "Jadi ini alasan utamanya?"

"Bukan." Jawabku dengan nada kubuat sejudes mungkin.

Bima tertawa kecil sebelum menggerakkan jemari telunjuknya menyuruh wajah mendekat.

"Kenapa?" Masih dengan nada judes dan kini kutambahkan gerakan melipat lengan di depan dada berharap aku kelihatan lebih galak.

Bukannya menjawab pertanyaan, dengan cepat Bima mengangkat tubuhku keatas pangkuannya, mencium bibirku sambil tertawa kecil di sela-sela ciumannya.

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang