part 3

2.1K 283 4
                                    

Bima mengetuk-etuk jarinya pelan, memperhatikan daftar pendek yang Nana tulis. Nana hanya menulis dua hal. Sekalipun Bima memaksa Nana untuk memikirkan matang-matang bahkan memperbolehkan Nana mengembalikan berkas itu sebulan kemudian. Nana tidak bergeming. Ia mengembalikan berkas yang sudah ia isi malam itu juga tanpa berkata apa-apa.

Tidak ada soal harta, penghasilan atau uang. Nana hanya menulis, harus banyak cerita dan saling percaya. Sependek itu. Membuat urat-urat nadi lengan Bima mengencang karena gemas, terlalu baik. Terlalu cantik, terlalu mudah memaafkan.

Di situasi yang sama, Bima juga hanya menuliskan dua perjanjian yang ia mau. Pertama; tidak akan ada perceraian. Kedua, ia tidak mau Nana bekerja. Bima tidak mau Nana berada di luar pengawasannya dan terutama karena kejadian Herman, itu sudah sangat cukup mematikan minat Bima melihat Nana menjadi wanita karir.

Bima yakin perjanjian pertama bukan masalah tapi berbeda dengan isi perjanjian kedua, itu mungkin agak sulit. Melihat Nana yang tidak biasa diam. Dari caranya bergerak gembira kesana kemari mengikuti ayahnya membangun ini itu.

Mungkin saat ini masih aman karena ayah Bima masih hidup. Beliau punya 1001 cara membuat orang lain tetap sibuk. Tapi berbeda cerita bila suatu saat nanti, ayah Bima benar-benar masuk di tahap tidak bisa begitu banyak bergerak lagi dan benar-benar membutuhkan perawatan profesional. Nana tidak mungkin selamanya menjadi 'pengasuh'. Mengasuh orang yang sudah sangat tua itu nggak mudah. Sepuluh kali lebih sulit daripada mengasuh bayi.

Lagipula pekerjaan Nana di rumah Bima kemungkinan tidak rasional lagi dalam kurun waktu beberapa saat kedepan. Alasan utamanya, karena Nana akan menjadi istrinya.  Alasan kedua, karena Bima tidak mau siapapun berpikir, Bima menikahi Nana hanya untuk mendapatkan pengasuh gratis untuk ayahnya. Alasan ketiga, Bima tidak tau sampai ayahnya tetap hidup.

Maka pagi ini juga, Bima bergegas menuju ke apartemen Nana. Senang karena memiliki alasan untuk datang ke apartemen Nana sedari pagi di hari Minggu, hari dimana Nana libur kerja mengurus ayah Bima.

Ketika Nana membuka pintu, Bima melihat Nana masih dengan celana training dan kaus Bima kemarin. Nana tersenyum lucu atau memang karena bentuk bibirnya Nana selalu kelihatan seperti tersenyum.

"Bima." Sapa Nana sambil membetulkan lengan kausnya yang masih juga melorot seperti tadi malam. Gerakan itu simple. Tidak penting sebetulnya. Tapi entah kenapa membangkitkan perasaan sayangnya pada Nana berkali-kali lipat. Membuat Bima tanpa sadar bergerak cepat, merengkuh Nana dalam pelukannya.

Aroma Nana harum seperti bayi. Menenangkan sekaligus menyenangkan. Wajar kalau Bima langsung menggendong Nana yang masih bengong tidak siap dengan segala yang dilakukan Bima, menuju ke atas sofa. Membuai Nana dalam pangkuannya seperti ia boneka, boneka yang saat ini menatapnya dengan wajah siap perang.

"BIMA, AKU BISA DUDUK SENDIRI! KENAPA SIH DIMANA-MANA AKU HARUS DI PANGKU?!"

Mata Bima terbelalak senang. Senang melihat wajah merona salah tingkah Nana. Senang melihat Nana protes. Karena Bima hampir tidak pernah melihat Nana marah dan sejujurnya lagi di mata Bima, marah Nana sama sekali nggak kelihatan seram. Lebih ke kelihatan lucu, seperti bayi gendut lucu sedang pura-pura ngambek.

Sambil tersenyum ngejek, Bima menarik pipi Nana mendekat dan mulai mencium bibir Nana.

"STOP Bima. STOP." Kali ini Nana mencoba mendorong bahu Bima sekuat tenaga.

Bima tertawa makin geli. Tenaga Nana sama sekali nggak rasanya untuk ukuran Bima. Bima baru berhenti mencium Nana, ketika ekspresi Nana berubah menjadi bayi gendut mau nangis.

"Kenapa aku selalu di cium paksa sama Bima?" Nana mencoba melompat berdiri dari pangkuan Bima. Gerakan sia-sia karena hanya dengan satu tangan Bima bisa membuat Nana terpaksa tetap duduk di pangkuannya.

"Kamu nggak suka?"

Nana tersentak makin salah tingkah, "Bukan itu maksudku,"

"Kamu suka?" Bisik Bima sambil mendekatkan Bibirnya semakin dekat ke Nana.

Nana sontak memejamkan mata rapat-rapat sambil mencoba memundurkan wajahnya sedikit ke belakang. Pipinya kini benar-benar merona merah padam.

"Kita bukan anak kecil." Gumam Bima, "Kamu harus terbiasa."

"Kenapa?"

"Sebentar lagi kita menikah."

"Iya. Tapi aku belum pernah ngelakuin ini sebelumnya."

Bibir Bima menyunggingkan senyum singkat.

Alis Nana bertaut, "Kalau Bima pernah pacaran nggak sebelum ini?"

"Nggak."

"Masa'? Padahal pasti banyak cewek yang suka Bima."

"Kamu sendiri?" Tanya Bima sambil mengecup bibir Nana dengan cepat.

"Nggak pernah."

"Kenapa?"

"Nggak ada orang yang bener-bener aku mau."

"Cuma aku?"

"Cuma Bima."

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang