Tepat ketika jam yang di janjikan. Aku mendengar suara deru mobil berhenti di depan rumahku. Aku melirik keluar pintu rumah. Bima sedang memarkir mobilnya. Aku langsung beranjak keluar. Aku nggak tahan menunggu Bima keluar dari dalam mobil. Aku ingin segera melihat wajahnya.
Bima langsung tersenyum begitu melihatku berdiri di samping kaca mobilnya. Senyum Bima yang jarang ditujukan kepada semua orang. Keajaibanku. Senyum Bima tampak tenang. Padahal aku yakin, Bima lebih cepat memahami situasi kemarin daripada aku. Ia pasti tau, reaksi ayahku tidak begitu baik-baik saja padanya.
"Nana." Ucap Bima ketika menutup pintu mobilnya dan aku langsung mendongak menatapnya, membisikan hal-hal yang ayahku larang untuk kuberitau ke Bima. Tapi aku nggak bisa, aku nggak bisa membiarkan Bima maju di hadapan ayahku tanpa perkiraan apa-apa.
Anehnya, setelah mendengar seluruh ceritaku Bima malah tertawa. Aku sampai bengong sesaat tidak mempercayai telingaku dan buru-buru mendongak ke langit. Langit sekarang mendung dan aku tau daridulu, Bima jauh lebih ramah saat hujan turun. Sampai sekarang aku sendiri belum faham kenapa bisa begitu.
"Bima nggak takut?" Tanyaku heran.
"Kenapa takut?"
"Khawatir? Gugup? Canggung?"
Bima menggeleng tegas.
Aku menggigit bibir, dalam hati bertanya-tanya bagaimana caranya aku bisa sepercaya diri Bima. Apa karena Bima seorang pengacara jadi dia sudah biasa menghadapi situasi lebih menekan daripada sekedar bertemu ayahku?
Lalu tanpa sadar aku menatap Bima dari atas kebawah. Seperti dugaanku, Bima memakai pakaian paling tidak cocok untuk ke tengah laut. Celana jeans dan kemeja formal, "Maaf. Bima juga nggak ada persiapan apa-apa."
"Nggak masalah." Jawab Bima santai sebelum membuka pintu mobil penumpang untuk mengambil beberapa potong bunga baby breath dari kursi.
Aku membelalakan mata gembira ketika Bima menyodorkan bunga padaku dengan cara paling tidak romantis. Tapi ini bunga pertama yang kudapat dari Bima. Hebatnya, hanya dengan segenggam bunga perasaanku tiba-tiba jauh lebih baik, bahkan kekhawatiranku luntur seketika, "Ini buatku? Bima beli dimana?"
"Aku ambil dari pinggir jalan komplek rumahmu." Jawab Bima tanpa memandangku dan langsung menggandeng tanganku menuju pintu depan rumahku.
"Nggak mungkin ada bunga baby breath tumbuh disini." Aku tertawa geli dan hanya di balas Bima dengan mendengus sementara kulihat kupingnya memerah. Membawa ingatanku kembali ke Bima kecil yang sering melakukan hal seperti ini. Kebaikannya yang ia sembunyikan dengan cara lucu.
"Bima?" Panggilku. Bima melirikku sedetik dan aku langsung menarik kemejanya. Aku berjinjit setinggi mungkin untuk mencium pipi Bima. Bima seharum dalam ingatanku. Aromanya hangat, woody bercampur citrus. Aroma Bima. Salah satu alasan kenapa aku suka membawa satu kemeja Bima dan kupakai kemana-mana. Karena aroma Bima terbawa bersamaku. Bau yang secara insting membuatku merasa aman.
Ciumanku di pipinya hanya di tanggapi Bima dengan senyum. Justru reaksi Bima membuatku tanpa sadar melompat memeluk pinggangnya. Aku sayang Bima, sayang, sayang sekali. Bima benar-benar orang pertama yang paling aku sayang di dunia setelah ayah dan ibuku.
Rasanya sekarang aku ingin memeluk Bima selamanya. Menggandeng tangannya. Pergi ke gedung SMP kami atau ke gedung SD kami, pergi kemanapun berdua. Bukannya membiarkan Bima pergi melaut berdua dengan ayahku, disaat mendung.
Sayangnya, tepukan pelan Bima di puncak kepalaku saat ini menyadarkanku kembali ke dunia. Membuatku tanpa sadar menolehkan kepalaku ke belakang. Kearah pintu rumahku yang terbuka. Ke ayahku yang berdiri tidak jauh dari kami dengan wajah cemberut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (completed)
ChickLitWarning for mature content,- Sequel read Angin pujaan hujan before, otherwise many things will confuse you Just simple short love story This works dedicated for people who likes sweet, simple, adult love story Enjoy