Selama dua jam lamanya aku marah-marah pada Bima. Aku nggak tau apa ini bisa di sebut marah-marah kalau yang kumarahi malah menontonku sambil tertawa-tawa.
Bima bener-bener tertawa. Kadang sampai terbahak-bahak. Kadang lagi hanya tersenyum geli. Tapi sebagian besar sama. Bima kelihatan bahagia. Semakin aku marah. Justru Bima semakin kelihatan menikmati.
Aku sampai heran. Jangan-jangan ini semacam sindrom orang yang hobi marah-marah seperti Bima. Jadi dia melihat orang lain yang marah-marah itu seperti sedang ngelawak. Padahal aku sudah mencoba segala jenis marah-marah yang kubisa.
Akhirnya, aku menyerah kalah. Lagipula aku nggak bisa marah-marah dengan totalitas kalau setiap sepuluh menit sekali marahku di potong dengan ciuman Bima. Tapi untungnya juga, marahku berhasil menghasilkan solusi;
"Mulai besok, Maharani jadi asistenmu mengurus bapak." Ujar Bima sambil tersenyum.
"Maksud Bima aku tetap pengurus utama bapak?"
"Ya." Jawab Bima, "Kamu juga boleh bantu Bu Yani masak."
"Apa aku boleh bersih-bersih rumah juga?" Tanyaku penuh harap.
Tawa Bima seketika pecah. Bima sampai menutupi matanya dengan telapak tangan sambil tertawa terbahak. Pipiku mau nggak mau merona merah membara.
"Bima!" Protesku sambil menggerakkan bahu Bima supaya ia berhenti tertawa.
"Ya?" Bima menarik nafas panjang supaya berhenti tertawa, "Dari semua yang aku bisa kasih, kamu malah minta hal kayak gitu."
"Tapi itu semua yang buat aku bahagia."
"Aku bisa kasih kamu segalanya."
"Tapi Bima sudah kasih aku segalanya."
Senyum Bima tiba-tiba menghilang, "Belum." Jawabnya tegas.
"Aku cuma mau ngurus bapak, sampai bapak sehat. Aku nggak suka cuma duduk, nggak ngapa-ngapain."
Mendengar kalimatku, sepersekian detik ekspresi Bima seketika berubah. Seakan kebahagiaannya menguap habis dalam sekejap,"Bapak nggak akan kembali sehat seperti dulu." Jawab Bima kaku.
"Maksud Bima? Memang sebetulnya bapak sakit apa?" Tanyaku bingung.
Bima mengalihkan pandangan marah. Yang aku paham betul kalau Bima melakukan itu artinya Bima tidak mau membahasnya. Jadi aku hanya membenamkan wajahku di bahu kemeja Bima. Mencium aroma tubuh Bima yang hangat menyenangkan. Kemudian mengalungkan lenganku di leher Bima. Memeluk erat Bima sekuat yang aku bisa.
"Bima jangan marah." Bisikku.
Bima hanya terdiam, sebelum ia menunduk membenamkan wajahnya di leherku dan mencium leherku perlahan.
"Bima harus percaya kalau bapak bakal selalu sehat."
Bima mendengus ngejek di leherku.
"Gimana semua itu bisa jadi kenyataan kalau Bima sendiri nggak percaya?"
"Nggak semudah itu."
"Tapi Bima percaya kan kalau aku bakal panjang umur, sehat selalu sampai aku jadi nenek-nenek?"
Bima melepaskan ciumannya di leherku untuk langsung menatap mataku tajam, "Kamu bakal tetap selalu sehat, aman." Bisik Bima, "Karena aku bakal jaga kamu selamanya."
Aku mendongakkan wajah tersenyum, "Iya. Lagian siapa lagi yang mau nemenin aku sampai tua selain Bima?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (completed)
ChickLitWarning for mature content,- Sequel read Angin pujaan hujan before, otherwise many things will confuse you Just simple short love story This works dedicated for people who likes sweet, simple, adult love story Enjoy