Part 35

1K 154 2
                                    

Aku berjalan keluar dari dalam rumah sakit setelah aku sudah menyampaikan semua yang ingin kukatakan pada Sarah.

Waktu sekarang sudah menunjukan pukul lima. Aku ingin pulang. Melihat wajah Bima. Berharap ayah dan Bima sudah berada di rumah.

Aku sedang berjalan melewati ruang pendaftaran pasien rumah sakit ketika aku tanpa sengaja berpapasan dengan Kairo. Kairo baru saja keluar dari dalam ruang UGD. Masih dengan jas dokternya.

Sama sepertiku. Tatapan mata Kairo juga langsung tertuju padaku. Ia seperti hendak mendekat. Tapi aku menjaga jarak. Hanya tersenyum mengangguk dan kemudian berjalan menjauh.

Sesaat aku sempat melihat senyum singkat menyesal Kairo. Senyum yang membuatku ingat beberapa potongan ingatan lain. Potongan itu berhamburan dalam otakku. Alasan kenapa hal yang paling kuingat dari Kairo adalah pidatonya, karena Kairo selalu menatap langsung mataku setiap kali ia berpidato sebagai ketua OSIS. Seakan cuma ada aku dalam ruangan tempatnya berpidato.

Ia juga sering muncul di depan kelasku padahal kelasnya entah dimana. Ia juga sering ada di tempat-tempat yang sering ku datangi. Tapi cuma itu. Sekedar itu.

Seingatku Kairo tidak pernah mencoba mengajakku mengobrol. Ia hanya melihatku dari jauh. Sama seperti sebagian besar murid laki-laki yang lain selama aku sekolah. Mereka tidak pernah benar-benar berani untuk melakukan sesuatu untuk menarik minatku.

Semua itu akhirnya juga menjadi alasan; kenapa Bima berbeda. Kenapa ingatanku tentang Bima jauh lebih membekas daripada yang lain dan kenapa aku tidak akan pernah lupa. Karena cara Bima memperlakukanku berbeda. Ia satu-satunya anak laki-laki yang dari awal berani mengajakku bicara seperti teman, musuh sekaligus sahabatku.

Aku buru-buru mengalihkan pikiran setelah beberapa menit tanpa sengaja tenggelam dalam ingatan masa laluku untuk segera memesan taksi online.  Dan ketika sudah dalam perjalanan pulang, aku menelpon ibuku, karena Bima masih belum membalas pesan maupun teleponku, berharap ibuku memberiku kabar yang paling kutunggu.

"Ayah sudah pulang?" Tanyaku begitu ibuku mengangkat teleponnya.

"Ya." Jawab ibuku.

Aku tersenyum gembira dan menggenggam handphoneku dengan tenaga agak berlebihan saking aku terlalu bersemangatnya, "Bima masih di rumah kan, bu?"

"Uhmm...." Ibuku terdiam sesaat sebelum menjawab, "Bima sudah pulang daritadi."

Jantungku berhenti berdetak sedetik sebelum berpacu terlalu cepat untuk membanjiri ku dengan rasa mual, "Kenapa? Bima nggak apa apa kan? Ayah nggak apa-apa? Ayah nggak marah kan?"

"Bima nggak banyak bilang apa-apa sebelum pulang. Jadi ibu nggak tau pasti." Jawab ibuku, beliau pasti langsung menyadari aku panik dari nada suaraku, makanya beliau melanjutkan kalimatnya dengan hati-hati,"Tapi Bima mungkin ada masalah di rumahnya, dengan ayahnya. Makanya Bima harus segera pulang."

Kalimat ibuku membuat seluruh darah tubuhku seakan berhenti mengalir. Tubuhku dingin karena rasa cemas dan takut. Bahkan aku nggak mampu untuk menarik nafas panjang untuk menjernihkan pikiran.

Hingga aku kembali menyesali keputusanku yang terburu-buru. Lebih menyesal dari sebelumnya. Aku yang mementingkan harga diriku, keinginanku dan lagi-lagi mengesampingkan keselamatan ayah Bima untuk egoku.

Seharusnya aku tidak pergi kesini, kembali ke kotaku. Seharusnya aku tetap di samping ayah Bima. Memastikan beliau sehat dan aman. Tapi sayangnya, sekarang semua sudah terlalu terlambat.

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang