Part 34

1K 160 5
                                    

Aku menggerak-gerakkan kakiku cemas di atas tempat tidur. Ternyata benar kata Bima. Menunggu itu tidak enak.

Setiap lima menit sekali aku selalu melirik jam. Pikiranku menerawang kemana-mana. Mencoba menelaah kembali benda apa saja yang tadi sudah ku persiapkan pada Bima,- bekal makan, minum, topi milikku yang paling simple untuk dipakai Bima, termasuk handukku, sunblock dan kemeja Bima yang biasa kubawa kemana-mana,- kemejanya yang paling kusuka, untuk jaga-jaga siapa tau Bima butuh pakaian ganti. Semua aku tata dalam satu tas ranselku dengan berbagai peralatan lain.

Aku juga memeluk Bima sebelum Bima pergi lalu menatap ayahku tanpa kata. Ayahku nggak perluh mendengar ku bicara panjang lebar untuk tau, aku benar-benar suka Bima dan aku benar-benar serius; aku sudah memilih Bima dari jutaan manusia yang ada.

Sebenarnya aku yakin aku sudah menyiapkan semua yang aku bisa. Tapi tetap saja aku terus mencari-cari hal yang kurang supaya aku bisa mendapat alasan konyol menyusul Bima dan ayahku ke tengah laut entah bagaimana caranya.

Akhirnya, karena tidak tahan menunggu. Aku membuka-buka handphoneku. Ada banyak pesan yang kuabaikan sedari kemarin. Termasuk pesan dari Sarah. Jadi aku menelpon Sarah. Teleponku baru di angkat dalam deringan terakhir. Sarah ngambek berat padaku. Wajar kalau Sarah marah, apalagi kemarin aku meninggalkannya begitu saja di acara alumni.

"Aku ke rumahmu sekarang, boleh?" Tanyaku menyela rentetan suara ngambek Sarah.

"Aku di kantor kali'." Jawab Sarah judes.

"Boleh aku kekantormu?" Tanyaku, tanpa sadar tersenyum.

"Aku sibuk tau, Anna. Ini kan akhir bulan! Aku lembur pembukuan gaji." Kata Sarah sambil ngedumel namun semenit kemudian ia tiba-tiba berbalik haluan, "Ya udahlah kalau kamu mau dateng. Tunggu aku sebentar di kafetaria poli bisa?"

"Nggak lama kan?" Tanyaku sambil melirik jam. Sudah hampir jam dua siang.

"Nggak."

"Oke."

Setelah mematikan telepon aku segera bersiap-siap sekaligus memesan taksi online. Juga mengganti bajuku ke baju terusan selutut.

Aku memang tidak begitu paham secara rinci pekerjaan Sarah. Tapi memang benar kata Sarah, dimanapun payroll selalu bagian yang paling sibuk saat akhir bulan. Jadi aku memutuskan membelikan Sarah beberapa tumpuk kue kering kesukaannya. Sebagai tanda maaf sekaligus cemilan untuk Sarah beserta teman-teman kantornya.

Aku sampai di kantor Sarah menjelang jam tiga. Langsung berjalan ke kafetaria berdasarkan petunjuk Sarah. Sarah sudah ada disana sebelum aku. Begitu aku ada di hadapannya aku langsung di hadiahi tatapan cemberut yang sama seperti tatapan ayahku ke Bima.

"Kenapa dari kemarin nggak bisa di hubungi sih? Aku khawatir tau, Anna! Kenapa kamu tau-tau pergi gitu aja ninggalin aku di acara alumni?!" Seru Sarah padahal aku baru saja duduk.

"Maaf ya." Aku tersenyum lemah, merasa bersalah, "Kemarin aku di jemput Bima."

"Aku tau. Kairo cerita kalau Bima datang jemput kamu! Tapi kenapa kamu nggak seenggaknya ngasih tau aku kalau Bima bakal datang jemput kamu disana?"

"Karena aku juga nggak tau kalau Bima bakal datang kesana." Jawabku jujur.

"Huh?" Sarah mengerutkan keningnya dengan wajah bingung yang bagiku lucu. Reaksi yang membuatku terpancing untuk menceritakan sedikit soal masalahku kemarin.

Sepanjang aku bercerita mulut Sarah ternganga semakin lebar. Ia seperti aku. Kemampuan Bima untuk tau aku dimana itu agak membuatku dan Sarah bertanya-tanya juga.

"Kamu nggak takut punya pacar yang bisa tau kamu kemana aja?" Tanya Sarah dengan wajah masih melongo.

Aku mengangkat bahu, tertawa, "Nggak."

"Bisa-bisanya..." Sarah geleng-geleng kepala tak habis pikir, "Tapi... Yah Bima itu pengacara kan? Dia mungkin
..uhm banyak tau hal-hal yang kita nggak tau."

"Kamu tau darimana Bima pengacara? Apa aku pernah cerita?" Potongku heran.

"Tanpa kamu perluh cerita pun aku sudah tau dari lama. Bima itu pengacara penggugat pailit dan penundaan pembayaran hutang perusahan kakekku." Sarah mendengus dan mukanya kini kembali cemberut.

Aku mengatupkan bibirku. Berhenti tersenyum, "Apa itu juga alasan kenapa kamu nggak suka Bima?"

"Aku tau. Ya. Nggak adil kalau aku nggak suka Bima karena itu dan seharusnya aku juga perluh tau soal itu. Apalagi jangan bawa masalah pekerjaan ke masalah personal kan?" Gerutu Sarah, "Tapi yakin deh Anna. Mending kamu sama Kairo. Kamu sadar kan Kairo naksir kamu daridulu? Dari SMU? Atau seengaknya kamu harus nyoba kenal dan pacaran dengan orang lain selain Bima."

"Ayahku juga bilang hal yang sama."

"Jadi ayahmu sudah tau soal Bima?!" Seru Sarah kaget.

"Cukup banyak tau. Apalagi ternyata ayahku sering dengar pembicaraan kita."

Ekspresi cemberut Sarah langsung berubah menjadi raut tidak nyaman. Pelan-pelan Sarah bertanya ragu, "Terus tanggapan ayahmu gimana?"

"Nggak begitu bagus."

"Apa kamu nggak marah kalau selama ini aku sering ngomongin Bima yang nggak bagus-bagus? Ya memang sih, kadang aku kelepasan bicara juga di depan ayahmu."

Aku menggeleng, "Nggak, Sarah. Aku nggak marah."

"Kenapa? Bukannya harusnya kamu marah? Kenapa kamu nggak pernah marah sih, Anna? Terus kenapa kamu yang sesabar ini malah suka sama orang yang hobinya marah-marah?"

"Bima nggak sering marah." Bantahku kalem, "Aku juga nggak akan marah ke kamu Sarah. Asal kamu janji nggak akan lagi ngomongin Bima yang jelek."

Sarah membelalakan matanya. Sesaat ia seperti sama sekali tak percaya dengan apa yang baru ia dengar dariku, "Jadi kamu bener-bener serius suka Bima? Benar-benar sayang Bima daridulu? Bukannya dari kamu masih kecil kan?"

Aku mengangguk, tersenyum, "Iya."

Sarah menatapku tertegun, "Apa kamu pernah suka orang lain selain Bima?"

"Mungkin pernah. Tapi cuma Bima yang aku bener-bener yakin. Kalau dia orang paling aku suka sejak dulu, selalu." Jawabku jujur sebelum menambahkan kalimatku dengan sungguh-sungguh, "Tolong hargai pilihanku ya, Sarah?"

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang