"Anna?" Panggil ayahku dari teras samping rumah ketika aku baru saja melangkahkan kaki menjauh dari kamar Maharani.
Aku menoleh, mendekati ayahku. Ayahku masih dengan pakaiannya kemarin. Aku kasihan melihat beliau, kalau aku setidaknya masih ada pakaian ganti di flat apartemenku, ayahku benar-benar tidak punya baju ganti satu helaipun disini. Di tambah beliau dasarnya tidak suka memakai baju orang lain sekalipun Bima sudah menawari beliau baju ganti milik ayahnya.
"Ayo kita pulang. Ibumu pasti nunggu kamu di rumah."
Nafasku tercekat sesaat. Mataku menatap ayahku kemudian menatap Bima yang masih duduk disamping pak Ilyasa, memandangku dengan wajah tanpa ekspresi.
Cukup lama aku mengatur nafasku. Merangkai ulang kalimat dalam kepalaku. Aku tidak ragu dengan keputusanku tapi berat untuk menyampaikan semuanya pada ayah.
"Ayah?" Ucapku sehalus mungkin, "Aku minta maaf ayah. Aku nggak bisa ikut ayah pulang."
Ayahku membelalakan matanya, termangu. Lalu menatap mataku cukup lama sebelum beliau menghela nafas berat. Wajah patah hati beliau. Aku pernah melihat itu, wajah yang sama ketika aku minta ijin beliau untuk bekerja di luar kota.
Aku memeluk ayahku, "Maaf ya ayah?"
Ayahku balas memelukku sedetik, melepaskannya dan kemudian menatap ayah Bima dan aku bergantian, "Kamu memang mirip ibumu." Gerutu beliau.
"Aku kan memang anak ibu." Candaku lemah.
"Kamu nggak bisa ninggalin pak Ilyasa kan?" Kata ayahku sambil melirik kembali ayah Bima yang tersenyum polos menatapku seperti bayi tanpa dosa namun dengan rambut beruban rontok sebagian serta kulit keriput penuh garis tua.
"Ya." Aku berkata dengan tegas tanpa menghakimi. Aku ingin jujur pada diriku sendiri, pada ayahku, bahwa aku sudah memilih jalan hidupku, "Aku juga nggak bisa jauh dari Bima, ayah."
"Kamu benar-benar yakin? Kamu sungguh-sungguh sudah yakin?" Tuntut ayahku.
Aku menganggukkan kepala, disaat yang sama Bima langsung bangkit dari duduknya, menyentuh bahu ayahnya dengan satu tangan kemudian menatap mata ayahku dengan berani. Bima berkata; Bima akan bertanggung jawab melindungi ku, menyayangiku, keluargaku dan ayahnya selamanya.
Mendengar kalimat Bima, nafasku tercekat. Seharusnya aku jangan menangis. Aku nggak suka menangis dan biasanya aku tidak pernah menangis. Tapi tatapan mata Bima. Kesungguhan Bima dalam setiap kata yang ia ucapkan di depan ayahku, di depan ayahnya. Meminta ijin mereka untuk menikah denganku membuatku air mataku hampir tumpah seperti malam sebelumnya.
Ayahku tertegun selama beberapa saat sebelum akhirnya menganggukkan kepala lemah dengan senyum sedih hampa bercampur aduk, "Bima? Tolong jaga Anna. Tolong buat dia selalu bahagia. Dia anak saya satu-satunya."
Aku tersentak namun tak bisa bersuara begitu juga Bima yang langsung menatapku. Lucunya, disaat itu, disaat dunia seakan berhenti berputar, tiba-tiba ayah Bima tertawa. Mengagetkan semua orang. Mengalihkan seluruh perhatianku, ayahku dan Bima untuk menatap beliau.
Ayah Bima menepuk-nepuk bangga tangan Bima yang ada di bahunya. Tersenyum sangat bahagia, "Selamanya saya nggak akan pernah lupa. Siapa yang paling di sukai anak saya dari kecil, Anakku perempuan, Anna. Terimakasih akhirnya saya bisa melihat anak saya menikah sebelum saya meninggal nanti....."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (completed)
ChickLitWarning for mature content,- Sequel read Angin pujaan hujan before, otherwise many things will confuse you Just simple short love story This works dedicated for people who likes sweet, simple, adult love story Enjoy