Part 36

1K 165 3
                                    

"Ayah, aku harus pergi sebentar." Ucapku begitu aku masuk ke dalam rumah dan mendapati ayahku ada di ruang keluarga. Sudah berganti pakaian memancingnya dengan pakaian rumah biasa.

Ayahku mendongak. Wajahnya tidak secemberut pagi tadi tapi kini beliau lebih tampak... khawatir. Hingga membuat garis-garis tua di wajahnya terlihat lebih jelas dari biasanya.

"Kamu mau ke rumah Bima?"

Aku mengangguk.

"Naik apa?"

"Kereta."

"Kamu belum mesan tiket kereta kan?"

"Aku bisa beli langsung di stasiun." Jawabku hendak berjalan cepat ke dapur mencari ibuku tapi langkahku terhenti karena aku mendengar ayahku memanggil namaku tegas.

"Kalau kamu memang mau ke rumah Bima. Ayah antar." Seru ayahku.

Aku mengerjapkan mata. Kalimat sesepele itu sebenarnya sudah cukup. Tanda kecil ayahku mulai membuka hati. Lalu di saat yang sama ibuku muncul dari balik pintu dapur. Mengelus rambutku, seperti hendak menenangkan ku.

Akhirnya, aku menyetujui pilihan ayahku. Berkendara berdua menuju kota Bima. Berjam-jam sekalipun melalui jalur tol.

Sudah lama aku tidak pernah naik mobil hanya berdua dengan ayahku. Seingatku terakhir kalinya sewaktu aku kuliah. Berhubung ayahku dan aku bukan orang yang interaktif. Biasanya perjalanan naik mobil berdua kami diisi keheningan sunyi yang nyaman.

Ajaibnya hari ini. Setelah sekian lama. Ayahku untuk pertama kalinya mematikan radio mobilnya. Untuk mengajakku bicara sepanjang jalan. Antara hendak membuatku lupa sesaat dengan perasaan cemas ku sekaligus tampaknya ayahku memilih kesempatan ini untuk bicara sesuatu yang seharusnya kudengar sebagai satu-satunya anak perempuan beliau.

Aku perhatikan sekarang, rambut ayahku sudah memutih semua. Kulit tangannya juga mulai mengkerut. Otot-otot tubuhnya sudah luruh di gantikan tubuh tua yang tidak sesehat dulu. Makanya aku tidak pernah berani membantah ayahku apalagi marah pada beliau. Bagaimanapun beliau tetap ayahku. Ayahku punya jalan pikirannya sendiri dan ia pasti berpikir jauh lebih dariku. Mempertimbangkan segalanya lewat pengalaman yang tidak semuanya beliau ceritakan padaku. Walau aku tau jelas, semua keputusan beliau selalu di dasari karena ayahku ingin menjagaku. 

"Ayah tau Bima suka kamu sejak dulu. Dari kamu kecil. Ayah pernah ketemu Bima beberapa kali dari dia kecil dan ayah bisa lihat semuanya." Kata ayahku dengan mata tetap serius menatap jalan raya.

"Apa sekelihatan itu?" Aku mencoba tersenyum walaupun gagal karena perasaanku tetap saja cemas dan sebagian isi otakku terpusat pada handphoneku, berharap Bima atau Maharani,-pengasuh ayah Bima, membalas pesan atau teleponku.

"Ya. Bima, teman sebangkumu waktu sekolah dasar yang selalu cemberut setiap ayah foto di acara sekolah. Tapi senyum setiap berdiri di sampingmu dan selalu milih untuk di foto di sampingmu."

"Juga anak yang nganterin kamu pulang hujan-hujanan sambil bawa tasmu waktu kamu SMP. Yang minjamkan jaketnya waktu kamu menstruasi pertama kali dan tembus ke rok sekolah."

Pipiku sontak merona, "Kenapa ayah tau?"

"Ibumu selalu cerita."

"Kenapa ibu selalu cerita?!" Tanyaku makin malu dan wajahku makin berubah seperti kepiting rebus.

"Karena menikah itu seperti itu. Cerita. Terbuka. Berbagi. Yakin dengan orang yang sama sampai meninggal nanti. Suami mu itu orang yang bakal jadi sahabatmu, temanmu cerita. Yang menemani kamu mengandung, melahirkan, merawat anak, sampai kamu tua."

"Masalah dalam rumah tangga itu juga banyak, Anna. Ayah tau, kamu sabar. Kamu orang paling sabar. Sesabar ibumu. Tapi ayah cuma mau kamu yakin. Benar-benar yakin dan sadar, karena menikah itu cuma sekali seumur hidup."

"Seharian ini ayah sudah ngobrol banyak dengan Bima. Ayah tau, Bima sebetulnya anak baik. Dia sayang kamu. Dia bertanggung jawab dengan kamu. Dengan keluarganya. Dia mapan. Pekerjaannya juga baik. Bima juga sudah ijin ayah untuk menikahi kamu."

"Lalu ayah jawab apa?" Tanyaku dengan perasaan semakin campur aduk tidak karuan.

"Ayah sudah bilang ke Bima. Ayah bakal bicara dulu dengan kamu. Ayah bakal tunggu, sampai ayah benar-benar yakin dengan jawabanmu."

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang