Part 8

1.7K 235 2
                                    

Lalu aku bisa apa kalau Bima melakukan sesuatu yang sebetulnya juga aku sukai? Sensasi asing yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti terbakar. Darahku berdesir mendidih. Rasa haus yang berbeda dari yang selama ini kukenal.

Aku nggak bisa melawan ketika Bima merangsek maju. Menenggelamkan ku dalam pelukannya. Seberusaha apapun aku mencoba lepas dari genggaman Bima, aku tetap nggak bisa. Karena nyatanya, hatiku paling dalam juga menginginkan ini semua.

Lagipula pada dasarnya segala usahaku tetap akan percuma. Sewaktu aku kecil, aku bahkan nggak bisa melepas genggaman tangan kiri Bima di lenganku walaupun aku sudah mencoba susah payah. Apalagi sekarang, aku pernah melihat Bima mengangkat sekardus buku super berat hanya dengan satu tangan dan mematahkan kayu besar yang mengganggu di dekat pintu gerbang  mobil menjadi dua dengan mudahnya. Jadi, kalau memang Bima mau, bukannya sudah daridulu Bima bisa membelehku jadi lima bagian?

Saat ini, Bima mengangkatku lagi dalam pangkuannya. Menciumiku lagi dengan kasar sementara jemarinya dengan lembut menarik leherku mendekat. Memainkan helai-helai rambutku. Aku memejamkan mata dan terbuai. Aroma Bima masih seharum yang kuingat. Aku nggak bisa mendiskripsikan parfum apa yang biasa Bima pakai, tapi parfum itu selalu sukses membuatku tidak bisa berpikir apa-apa.

"Kamu harus segera setuju dengan syaratku nomor dua." Bibir Bima bergerak disela-sela ciumannya,  "Aku mau kita segera menikah Na."

"Aku nggak bisa. Banyak yang harus kupertimbangkan dulu Bima."

"Aku bakal ngasih kamu segalanya." Paksa Bima. Dengan gusar ia mengusap ujung jemarinya di bibirku.

"Gimana kalau kita bahas perjanjian itu setelah kita menikah?"

Bima mendengus, ia memundurkan wajahnya beberapa senti dari wajahku sambil tersenyum ngejek, "Itu namanya bukan perjanjian pranikah, Na."

"Hampir semua perempuan sekarang wanita karir Bima. Aku bisa jadi ibu rumah tangga sekaligus wanita karir. Bima nggak perluh khawatir. Aku bisa bagi waktuku kok."

Bima menggertakan gigi, "Apa kamu bener-bener nggak paham?"

"Eh?" Aku menelan ludah sesaat ketika melihat wajah tenang Bima berubah gusar dan matanya menyipit marah.

Bima mulai berkata banyak hal dengan nada dingin. Tentang kekhawatirannya, perasaan takut sekaligus serangan panik yang selama ini ia rasakan. Tentang aku, tentang dirinya. Tentang perasaannya. Semua di katakan dengan kalimat singkat dan ekspresi jijik. Seperti mengungkap kelemahan terbesarnya. Sesuatu yang Bima muak dan benci.

"Aku nggak suka cara laki-laki melihat wajahmu. Cara mereka bicara ke kamu. Aku nggak pernah bisa bagi sesuatu milikku yang paling aku suka ke orang lain."

"Tapi gimana kalau kita punya anak? Apa Bima masih bakal kayak gini juga?" Tanyaku khawatir.

"Itu beda. Karena anak kita nanti. Bagian dari kamu juga."

"Tapi nggak semua laki-laki punya niat nggak baik ke aku, Bima."

"Mau itu niat baik atau buruk, apa kamu nggak sadar? Wajahmu Na. Sifatmu. Semuanya. Dari kamu masih kecil. Kamu terlalu menarik. Nggak mungkin ada laki-laki yang nggak tertarik dengan kamu."

"Tapi Bima dulu kayaknya nggak tertarik sama aku deh." Aku meringis kecil sambil menggaruk puncak kepala.

"Kamu nggak tau seberapa berusaha aku nahan diri." Ejek Bima.

"Tapi maksudku, sungguhan, nggak semua laki-laki." Potongku keras kepala.

"Oh ya? Seberapa banyak? Cuma minoritas." 

"Beneran Bima." Sergahku mulai putus asa saat tatapan mata Bima mulai menghujamiku.

Sudut bibir Bima menegang, "Kenapa nggak kita buktikan sekarang?"

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang