Part 4

2K 280 10
                                    

Lagi-lagi hal sepele. Hanya dua kata singkat. Tapi nyatanya berhasil mengacaukan segala emosi Bima. Ia terlalu sayang Nana. Perempuan mungil kecil berwajah manis seperti permen di hadapannya. Anak perempuan yang membuat Bima ingin membawanya kemana-mana, mendudukannya dalam pangkuannya. Menyembunyikan Nana dari dunia. Menyimpan Nana hanya untuknya sendiri.

Bima tidak menyangka, ia bisa seposesif ini. Sesuatu yang berbahaya. Alam bawah sadar yang lebih sering mendominasi di atas akal sehat. Sesuatu yang Nana harus tau. Sesuatu yang Bima sadar harus ia kurangi. Rasa terobsesi.

Sayangnya rasa obsesi ini terlalu kuat untuk saat ini. Seperti monster yang mengendalikan Bima. Bima dengan cepat mengangkat Nana. Menjatuhkan Nana di atas sofa. Nana hanya terdiam dengan wajah kaget. Bima mulai mencium setiap bagian wajah Nana.

Bima baru menyadari tindakan gilanya ketika Nana menarik bagian belakang punggung kemeja Bima. Kesadaran Bima langsung kembali. Ia berhenti mencium Nana untuk menatap Nana lebih jelas. Wajah Nana kini seperti orang mabuk, merah padam malu, bibirnya sedikit terbuka dan matanya sembab. Membuat Bima ingin kembali mencium bibir Nana. Merengkuh Nana dalam pelukannya, selamanya. Tapi Bima harus berhenti, karena ia tau. Kalau ia melanjutkan kembali, maka tidak akan ada jalan lagi untuk berhenti.

"Aku sayang kamu Na." Bisik Bima sambil perlahan menarik Nana duduk dalam pelukannya.

Bima tidak mendengar jawaban dari bibir Nana kecuali suara kecil bergetar tidak jelas. Tanpa suara Nana membenamkan wajahnya di bagian depan kemeja Bima seakan ingin menghilang, bersembunyi, sekaligus berlindung disana.

"Kamu harusnya tau, aku posesif, egois dan obsesif." Bima mengecup puncak kepala Nana.

Dalam dekapan Bima, Nana mengangguk pelan.

"Kamu bisa nerima itu semua?"

"Itu bagian dari diri Bima kan?"

"Kamu siap?"

"Mungkin."

"Mungkin?" Bima tertawa kecil, "Kamu nggak tau seberapa parah."

"Separah apa?"

"Mungkin aku bakal bawa kamu kemanapun aku pergi dan kamu nggak boleh pergi tanpa aku."

"Oh." Nana menggigit bibir, "Selain itu?"

"Aku nggak akan bolehin kamu kerja. Setelah kita menikah, kamu cukup di rumah atau ikut aku pergi kemanapun."

Baru saat inilah, Nana memberanikan diri mendongak menatap wajah Bima sambil menggigit bibir lucu, "Aku nggak nyangka kalau sampai harus begitu."

"Ini yang aku mau bicarakan sekarang. Alasan kenapa aku datang kesini. Penting." Bima mengusap rambutnya kebelakang dengan kasar, "Ada beberapa hal juga yang aku nggak mau kamu lakukan. Aku nggak mau kita cerai dan aku nggak mau kamu kerja. Aku mau kamu di rumah dan itu harus di buat perjanjian di atas hukum."

"Apa karena Bima pengacara, makanya kompromi antara kita harus dibawah hukum dan notaris?"

"Lebih karena, manusia nggak pernah stabil, fluktuatif, selalu berubah."

"Tapi nggak perluh sampai begitu kan Bima? Kita cukup saling percaya. Siapa tau, suatu saat Bima yang bakal berubah pikiran."

"Nggak akan." Jawab Bima galak, "Untuk dua hal itu. Nggak akan pernah kuubah. "

"Tapi aku harus bekerja. Aku suka kerja. Aku nggak suka jadi ibu rumah tangga. Juga karena aku anak tunggal. Aku harus bantu orangtuaku, Bima."

"Aku bisa bantu mereka. Aku mampu."

"Aku mau bantu dengan usahaku sendiri. Bukan lewat Bima."

"Setelah kejadian Herman, kamu yakin? Apa kamu nggak belajar?" Bima balas tertawa ketus.

"Nggak semua orang kayak pak Herman."

Bima tertawa makin keras. Lucu, Nana betul-betul nggak paham atau benar-benar nggak sadar? Sejak dulu berapa banyak anak laki-laki melihat Nana seperti mangsa yang di tunggu saat lengah. Dunia sekarang lebih jahat. Bukan sekedar anak laki-laki yang hanya berani menggoda Nana di koridor sekolah.

"Apa kita nggak akan nikah seandainya aku nggak nyetujui salah satu syarat?"

"Kita bakal TETAP menikah. Karena kamu HARUS setuju."

"Nggak ada kompromi?"

"Nggak."

"Apa syarat lain?"

"Aku nggak peduli soal uang. Kamu bisa bawa semua uang, aset, tabungan, surat berhargaku. Kamu yang kelola semua. Aku percaya kamu seluruhnya soal itu."

"Hah?" Bibir Nana ternganga semakin lebar.

"Cukup dua syarat yang kamu setujui dan kamu punya semuanya Na."

"Semuanya?"

"Ya. Termasuk aku."

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang