Part 32

1K 173 8
                                    

Paginya aku bangun dengan perasaan lebih tidak enak. Begitu mataku terbuka aku langsung teringat percakapan dengan ibuku semalam. Aku mengobrol semalam suntuk dengan ibuku dan seperti yang sudah kuduga; aku orang yang sangat tidak bisa bohong. Apalagi dengan ibuku.

Akhirnya mau tidak mau aku mengakui semuanya, termasuk pak Herman, pekerjaanku sebelumnya dan pekerjaanku sekarang.

Reaksi ibuku kalem. Dasarnya ibuku memang tidak pernah marah. Beliau hanya mengangguk dan sekelebat aku melihat raut sedih di senyumnya.

Ibuku hanya minta supaya aku lebih banyak cerita dan tidak menuntutku apa-apa lagi. Permintaan ibuku membuatku malu, aku meminta Bima banyak bercerita tentang dirinya padahal aku sendiri tertutup dengan keluargaku.

Aku duduk di atas kasurku dan langsung membuka handphoneku. Ada beberapa pesan dari Bima yang intinya ia akan ke rumahku pagi ini, hari ini juga. Jam sembilan pagi.

Jantungku mulai berdetak tidak beraturan. Perasaanku tambah campur aduk saat melirik jam dinding. Aku inginnya bisa terbang keluar kamar lewat jendela tanpa harus bertemu dengan ibu dan ayahku. Aku ingin pergi ke rumah Bima dan bergelung di pelukannya sambil menceritakan semuanya. Sayangnya aku tau, itu nggak mungkin.

Maka mau nggak mau, aku keluar kamar. Sambil menggigit bibir. Berharap ayahku bukan orang pertama yang memergokiku. Sialnya, begitu aku membuka pintu ayahku sedang duduk di salah satu sofa ruang keluarga yang menghadap langsung ke kamarku. Double sialnya, ayahku tidak menungguku seenggaknya singkat gigi atau cuci muka dulu untuk langsung berkata, "Ibumu sudah cerita semuanya ke ayah."

"Ya?" Ucapku pura-pura biasa aja.

"Hari ini ayah mau ketemu dengan Bima."

"Oooh..." Aku membuka mulut hampir saja tersenyum sebelum senyumku di gantikan gertakan gigi cemas karena ayahku melanjutkan berkata, "Ayah mau ngajak Bima pergi. Berdua."

"Hah?!"

"Kenapa kamu kaget? Ayah harus kenalan dengan bos kantormu sekarang kan?" Bibir ayahku bergerak seperti setengah tersenyum tapi hidungnya mendengus sakartis.

Aku menelan ludah, "Boleh aku ikut?"

"Berdua." Ulang ayahku dengan senyum mematikan, "Ayah mau ngajak Bima mancing."

Seketika jantungku terasa seperti hendak meletup keluar dari dada. Bima pernah bilang kegiatan yang paling tidak ia suka itu memancing. Bukan cuma karena laki-laki yang di nikahi ibunya itu sahabat memancing ayahnya tapi juga karena dasarnya Bima tidak suka kegiatan yang memaksanya duduk diam menunggu tidak melakukan apa-apa berjam-jam. Masalahnya, aku tau betul hobi ayahku itu memancing. Bukan memancing di pemancingan tapi benar-benar memancing di tengah laut yang sampai menyewa kapal.

"Bima hari ini pasti akan kesini kan? Jam berapa?"

Aku menggigit bibir, "Sebentar lagi."

"Oke. Ayah siap-siap dulu." Ayahku bangkit berdiri. Melipat korannya dan aku nggak ingat sejak kapan ayahku tampak lebih menakutkan dari biasanya, "Oh ya, kamu nggak perluh ngasih tau Bima kalau ayah ngajak dia mancing." Tambah ayahku.

"Huuuh?!" Desisku panik. Tapi menyedihkannya aku tetap tidak bisa membalas berkata apa-apa.

Aku bahkan nggak yakin apa Bima akan datang ke rumahku dengan baju yang cocok untuk pergi ke tengah laut. Sebetulnya malah aku juga nggak yakin apa Bima datang membawa stok pakaian kesini. Karena kemarin aku sempat melirik singkat jok belakang mobil Bima. Isinya penuh bertumpuk-tumpuk berkas perkerjaan dan tidak ada hal lain lagi selain itu.

Aku tau, Bima hampir tidak pernah libur. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya bahkan di hari Sabtu dan Minggu. Jadi, tumpukan berkas itu sama dengan tumpukan tanggung jawab yang di tinggalkan Bima hanya untuk bergegas menyusulku kesini.

Sedari awal aku sebetulnya sadar, Bima pasti akan menyusulku. Bima pasti akan menemukanku. Aku tau, Bima pasti langsung bergegas memacu mobilnya berkilo-kilo meter menuju kesini. Kota masa kecilku, mencariku. Aku cuma pura-pura tidak tau dan nggak mau tau. Seperti anak kecil yang kabur dari rumah tapi juga berharap untuk di cari. Aku mencari perhatian Bima lewat jalan paling kekanak-kanakan.

Kini semuanya berbalik arah. Keputusanku yang terlalu terburu-buru. Terbawa emosi. Membuatku semakin merasa bersalah dan serba salah.

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang