Part 43

2.7K 233 51
                                    

Bima menoleh sambil menundukan kepalanya, sekuat tenaga memasang ekspresi wajah cemberut walaupun ada getaran aneh yang seakan memaksa bibirnya untuk tertawa kecil di saat paling tidak tepat.

Di samping Bima berdiri Nana, memakai baju seragam PMR. Semenit yang lalu Nana mendadak berjalan menuju ke samping Bima tanpa berkata apa-apa.  Menunduk tanpa menatap Bima balik, namun bahasa tubuhnya seperti anak kecil sembunyi meminta perlindungan.

"Kamu kenapa?" Tanya Bima.

Perlahan Nana mendongak, raut wajah Nana sedikit pucat dan capek.

"Kalau kamu nggak enak badan, kenapa ikut kegiatan ekstra? Kenapa nggak pulang?" Gerutu Bima tanpa sadar meletakan jarinya di kening Nana disaat yang sama ketika Nana buru-buru menggelengkan kepala.

"Aku nggak demam." Bantah Nana dengan suara mencicit sebelum ia berkata, "Tapi perasaanku nggak enak."

"Ada masalah?"

Nana menggeleng.

"Perutmu sakit? Apa ini hari pertamamu mens?"

Mendengar kalimat Bima, pipi pucatnya mulai sedikit berwarna, "Kok Bima tau?" Bisik Nana malu.

Bima memutar bola matanya. Bima sendiri juga tidak paham, sejak kapan ia bisa membaca isi hati Nana bahkan ke hal-hal yang agak terlalu privasi.

"Sana pulang!" Seru Bima dan Kemarahannya bertambah karena langit sore yang biasanya jingga cerah dihadapan pelan-pelan berubah sedikit gelap mendung.

Untuk sesaat Nana mematung menatap Bima yang diam dengan wajah jengkel; membayangkan Nana yang sedang menstruasi pulang dalam keadaan basah kuyup, hingga akhirnya Nana menganggukkan kepala dan berjalan pergi.

Bima menggertakan gigi. Ia terdiam cukup lama hingga tanpa sadar dirinya menghentak-hentakkan satu kaki gemas ke tanah pavling lapangan sekolah. Perasaan tidak enak Nana anehnya kini juga menular padanya. Sekarang perasaan Bima yang tadinya biasa saja, tiba-tiba ikut tidak enak. Perutnya mendadak juga terasa seperti diaduk-aduk. Bukan sakit perut tapi perasaan bersalah aneh yang sialnya menjalar memutar balikkan isi perut.

Bima menghela nafas. Ia paling tidak tahan dengan jenis perasaan seperti ini. Dengan cepat ia mengambil tas sekolah miliknya. Mengabaikan teman-teman ekstra taekwondo yang sudah mulai berjalan berombongan menuju ke aula besar di samping lapangan. Tidak peduli, Bima sudah mengganti pakaiannya dari seragam sekolah ke seragam ekstra atau apa pelatih Taekwondo ternyata memperhatikan gerak gerik Bima sedari tadi dari aula besar. Yang Bima pikirkan; ia hanya ingin pulang sekarang juga.

Tak berapa lama langkah kaki Bima sampai di halte sekolah. Langit sore kini semakin mendung gelap. Ditambah angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Menghamburkan daun-daun kering yang jatuh dari pepohonan sekitar sekolah. Udara yang tidak begitu bersahabat untuk orang yang badannya sedang tidak begitu sehat.

Bima melihat Nana masih dengan seragam PMR nya yang bermodel seperti sweeter tebal duduk di pojok halte. Tatapan mata Nana langsung tertuju pada Bima begitu Bima masuk kedalam ruang halte.

Bima memilih untuk duduk di kursi terjauh dari Nana dari belasan kursi kosong lain. Awalnya hanya keheningan dan suara hujan mulai jatuh; sampai akhirnya suara langkah kaki menarik perhatian Bima.

Nana sekarang berdiri di samping Bima. Masih dengan warna wajah pucat muramnya. Bima menghela nafas, mengetuk kursi kosong di sampingnya dengan telunjuk menyuruh Nana duduk disampingnya tanpa suara.

"Perasaanmu masih nggak enak?"

Nana mengangguk. Meletakan tasnya di atas pangkuannya dengan bibir tanpa senyum padahal biasanya Nana selalu senyum sekalipun di saat paling nggak tepat, "Makanya aku ke Bima." Ucap Nana.

"Kenapa?"

"Bima kan pernah bilang, kalau perasaanku nggak enak. Aku jangan jauh-jauh dari Bima."

Keheningan dalam ruang ini kembali bersamaan dengan bibir Bima yang terkunci. Bima ingat, ia memang pernah mengatakan hal itu pada Nana. Entah kapan. Entah dimana. Yang Bima tidak sangka, Nana sungguh-sungguh mendengarkan kalimatnya. Hingga Bima tidak tahan lagi untuk kembali bertanya; apa keberadaannya memang ada pengaruhnya.

Nana tersenyum lalu mengangguk dengan wajah lucu, "Iya!"

Sepele lagi-lagi hal sepele yang membuat Bima tidak bisa berkata-kata.

Ingatan tentang anak perempuan kecil yang kadangkala teringat oleh Bima disaat-saat janggal. Meletup begitu saja. Di waktu-waktu yang kadangkala tidak tepat. Yang selama sebelas tahun menyiksanya pelan-pelan.

Dulu Bima bertanya-tanya apa semua ingatannya bisa ia abaikan suatu saat nanti. Walau nyatanya, semua ingatannya tentang Nana tidak pernah tidak menyenangkan. Selamanya Nana selalu menjadi anak perempuan kecil yang selalu bahagia di sekitarnya. Keputusannya lah yang salah hingga membuat sesuatu yang indah menjadi menakutkan.

Beruntungnya, semua kenangan yang awalnya menyakitkan itu telah berubah. Berbalik arah. Menjadi kenangan yang tidak ingin Bima lupakan sampai mati. Yang Bima benar-benar bisa tertawakan ketika ingatan itu kembali.

Bima menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, menatap keluar jendela kaca besar kamarnya yang basah oleh air hujan. Mengirimkan suara gemericik deras air berjatuhan ke tanah dan rerumputan. Suara hujan, cahaya temaram dan keheningan yang sama seperti saat Bima dan Nana duduk saling bertatapan di halte sekolah berpuluh tahun lalu.

Perhatian Bima dari hujan akhirnya teralih begitu ia mendengar suara pintu kamar mandi kamarnya tertutup pelan.

Bima menoleh. Nana berdiri tidak jauh di belakangnya. Memakai baju tidur terusan pendek selutut. Rambutnya sedikit basah. Namun yang paling menarik perhatian; pipi Nana yang benar-benar merona membara.

Sesaat Nana membuka bibirnya gugup. Namun tidak ada satupun suara yang keluar hingga akhirnya Nana mengatupkan kembali bibirnya sambil membuang wajah sejauh-jauhnya dari tempat tidur Bima yang berada tepat di tengah ruangan.

"Nana?" Panggil Bima. Dengan tegas  mengangkat telapak tangannya. Gerakan kecil singkat meminta Nana untuk berjalan meraih jemarinya.

Nana menoleh sedikit, bergumam tidak jelas, menelan ludah dan mulai menggigiti jemarinya gugup.

Kini Bima tidak tahan lagi untuk tidak tertawa. Dengan cepat ia berjalan menuju Nana, merengkuhnya, menggendong Nana lembut dan menjatuhkannya ke kasur.

"Lihat aku." Bima mendekatkan bibirnya ke bibir Nana. Menciumnya. Menarik seluruh perhatian Nana untuk mendengar kalimat yang sungguh-sungguh ingin Bima katakan sejak dulu.

"Ya, Bima?" Desah Nana lembut di sela-sela ciuman Bima. Sementara jemari Bima mulai melepas seluruh pakaiannya.

"Kamu istriku. Milikku." Ucap Bima, menarik jemari Nana kemudian menggenggamnya seerat mungkin, "Selamanya."

Yang tidak Bima duga, tiba-tiba Nana tertawa kecil. Suara tawa yang mirip dentingan lonceng. Pelan menyenangkan, "Aku kan memang milik Bima sejak dulu."

Bima menggertakan gigi gemas menatap Nana yang masih tertawa geli. Menertawakannya. Seakan Bima baru menyatakan hal paling aneh. Hal yang seharusnya sudah jelas.

Seketika Bima membungkam tawa Nana dengan ciuman. Lebih kasar dari sebelumnya. Mencium seluruh tubuh Nana. Membuat Nana benar-benar menjadi miliknya seutuhnya, malam ini.

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang