Selain berat meninggalkan ayah Bima aku juga berat meninggalkan Bima. Memang khusus hari ini, Bima mengambil jatah cutinya untuk tetap di rumah bersamaku dan ayahku. Tapi untuk esok dan selanjutnya Maharani sudah tidak akan disini lagi dan Bima sudah pasti harus bekerja.
Hari ini Maharani mulai berberes semua barangnya. Artinya untuk sementara ayah Bima tidak punya pengasuh dan mengganti pengasuh ke pengasuh lain juga tidak semudah itu.
Aku tau, bu Yani tidak mungkin menjaga ayah Bima sendirian. Aku juga tidak bisa diam saja pura-pura tidak sadar walau kuakui aku punya banyak keterbatasanku merawat orang tua.
Aku juga menunggu waktu yang tepat untuk bertanya banyak hal tentang ini dengan Bima karena aku yakin dalam diamnya, Bima pasti sudah memperhitungkan segalanya sebelum memutuskan sesuatu.
Selesai mencuci piring, aku membantu ayah Bima untuk duduk di samping ayahku yang sedari tadi mengobrol dengan Bima di kursi sofa di teras depan. Ayahku menyambut baik ayah Bima walau beliau pasti tau, ayah Bima tidak dalam kapasitas bisa di ajak bicara nyambung lebih dari lima belas menit.
Setelah aku yakin, ayahku, pak Ilyasa dan Bima bisa kutinggal dalam keadaan nyaman. aku diam-diam berjalan pergi. Menuju kamar Maharani.
"Maharani?" Panggilku mengetuk pintu kamarnya pelan-pelan.
Tak beberapa lama, pintu kamar Maharani terbuka. Maharani tampak sedikit pucat dan letih. Tapi memaksakan tersenyum padaku.
"Mbak Nana..." Sapanya ramah.
"Boleh saya ngobrol sama mbak Maharani?"
Maharani mengangguk lemah. Mempersilahkanku masuk kedalam kamarnya.
Kamar Maharani cukup simple. Single bed, lemari dan kamar mandi dalam. Agak sedikit berantakan karena Maharani sudah mulai mencicil barang-barang yang hendak ia bawa pulang ke dalam koper.
Aku duduk di pinggir bed disamping Maharani. Aku bicara cukup banyak dengan Maharani, jauh dari topik tentang pak Ilyasa apalagi Bima, lebih tentang adik-adik Maharani yang masih sekolah. Keseharian Maharani dan bagaimana nantinya setelah Maharani kembali ke Yayasan.
Maharani awalnya agak bingung dengan bahan pembicaraan yang kuangkat tapi akhirnya mengikuti juga. Sedikit senang karena karena ada teman cerita daripada hanya di hakimi karena kesalahannya kemarin.
"Mbak Nana, besok saya sudah tidak kerja disini lagi. Apa nanti mbak Nana sendirian yang bakal ngerawat bapak?" Maharani tiba-tiba memotong pembicaraan.
"Uhm..saya juga kerja disini kan?" Tanyaku balik. Mendadak teringat Job desk ku sebagai si perawat gadungan.
Alis Maharani berkerut, "Tapi pak Bima pernah bilang sama saya, mbak Nana nggak pernah kerja disini."
"Saya kerja disini." Jawabku menegaskan walau kini gantian keningku yang berkerut.
"Apa pak Bima nggak merasa memperkerjakan mbak Nana?"
"Bisa jadi." Jawabku ragu karena aku sendiri tidak pernah mendengar Bima menegaskan hal itu di depanku. Apalagi kenyataannya kan aku memang di bayar.
"Saya lihat selama ini mbak benar-benar tulus perhatian dengan pak Ilyas; apa itu ya yang dimaksud pak Bima?"
"Hmm?" Aku menelengkan kepalaku, mencoba mencerna kalimat Maharani sebaik mungkin sebelum menjawab, "Saya sayang pak Ilyasa dan siapapun keluarga pak Bima itu keluarga saya juga."
Memang benar. Karena bagiku, memutuskan bersama dengan seseorang selamanya, artinya aku harus menerima keluarganya, keputusannya, masalah, semua tentangnya apa adanya.
Maharani terdiam cukup lama setelah mendengar kalimatku hingga perlahan ia tersenyum kecil dan berkata, "Kalau gitu, saya mana mungkin menang dari mbak kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (completed)
ChickLitWarning for mature content,- Sequel read Angin pujaan hujan before, otherwise many things will confuse you Just simple short love story This works dedicated for people who likes sweet, simple, adult love story Enjoy